Di balik
keberhasilan pasti ada usaha yang diistiqamahkan, seperti kata-kata yang sering kita dengar: “usaha tidak akan mengkhianati hasil.” Seberapa besar
kita berusaha, sebesar
itulah kita mendapatkan hasilnya.
Mencari ilmu ternyata tidak semudah yang kita pikirkan, karena kita harus melewati banyak
rintangan. Di balik keberhasilan
seseorang juga pasti ada cerita yang tidak pernah kita sangka. Seperti sosok
Munjidatus Sholihah, salah satu santriwati PPRU 1 Putri yang tiba-tiba sangat
dikenal di pesantren karena
mampu menyetor hafalan Tashrifan sekali duduk dengan lancar.
Bagaimanakah mulanya?
“keinginan saya untuk mondok itu banyak rintangannya, terutama faktor ekonomi, karena memang saya terlahir dari
keluarga yang pas-pasan. Alhamdulillah, sekarang saya bersyukur sekali
karena sudah bisa mondok.” Baginya, mondok adalah suatu hal yang
sangat membanggakan. Dulu ia juga pernah bersekolah Diniyah,
mempelajari ilmu-ilmu agama seperti fiqih, kitab mutammimah, nahwu,
‘imrithi, menghafal tashrifan dan lain-lain.
Awal mula ia dapat dikenal oleh
banyak santri adalah di mana saat pelajaran Bahasa Arab di Madrasah Aliyah, ia
ditunjuk oleh guru pangampu untuk menerjemahkan sebuah teks berbahasa arab, ia
pun dapat melakukannya dengan baik dan sangat lancar. “Kamu diniyah-nya
kelas berapa?” Tanya Ning Anis, Sang guru pengampu. Ia menjawab kalau ia masih
kelas 1 Ula. Karena dirasa sangat mampu, maka Ning Anis, yang juga merangkap
sebagai guru diniyah pagi, berinisiatif untuk mengkonsultasikan Munjida
agar naik ke kelas 3 Ula.
Beberapa hari kemudian, ia diminta untuk mempersiapkan tes “lompat kelas” setelah liburan, dengan syarat bahwa ia harus hafal tashrifan, faham
fiqih juz 3 dan nahwu. Ia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan tersebut, hingga ia menggunakan waktu liburan
dengan sangat produktif.
"Waktu setelah subuh saya gunakan untuk muthola'ah
sampai jam 6 pagi hingga jam 9 pagi, diselingi dengan bersih-bersih rumah. Setelah itu, saya pergunakan waktu saya untuk
berkumpul bersama keluarga. Barulah, setelah shalat dhuhur atau jika ada waktu luang, saya pergunakan waktu
tersebut untuk bermain handphone.
Saya menambah hafalan tashrifan setelah menunaikan shalat
‘asar.
Setelah itu, saya setorkan
di waktu maghrib kepada kakak saya. Namun, Kakak tidak Ingin jika saya hanya menyetor satu bab
saja, minimal lima bab."
Setelah diistikamahkan selama satu bulan penuh, ia mengaku mampu dan bisa menguasai persyaratan di atas. Namum belum sampai di situ, setelah melakukan tes, ternyata Munjida masih masuk di kelas 2 Ula. Hingga akhirnya, ketika jam pelajaran Ning Dzirwah,
Munjida menyetorkan hafalan Tashrifan-nya dengan sangat lancar.
"Bagaimana jika kamu saya naikkan ke kelas tiga?"
Dawuh Ning Dzirwah Menawarkan, oyang kemudian
ia sanggupi. Sehingga, untuk kedua kalinya, ia pun melaksanakan
tes. Namun, untuk tes
kedua tersebut, ternyata
tidak sesuai dengan apa yang ia ekspektasikan. Salah satunya adalah men-tashrif lafadz yang tidak ada pada tashrifan.
Ia pun sempat berputus asa.
“Saya mengingat betul kejadian sebelum mondok dulu. Saya butuh uang
untuk biaya sekolah dan, Ketika melihat wajah orang tua saya yang seperti
kelelahan karena baru
pulang bekerja,
disertai jumlah uang
yang menipis, saya
sadar bahwa orang tua saya sudah semakin menua. Jadi, saya tidak boleh mengecewakan
mereka. Saya selalu ingin terus berusaha agar bagaiamana caranya saya tidak menyia-nyiakan kerja keras
kedua orang tua saya.”
Kakaknya juga sempat berpesan agar ia bersungguh-sungguh
dalam belajar,
karena di antara keluarganya, hanya ia yang dapat melanjutkan sekolah formal. Jika tiba-tiba ia
merasa putus asa, ia pun
langsung teringat kepada keluarganya. Karena di situlah titik dimana semangatnya dapat kembali berkobar. Ia juga percaya bahwa usaha tidak akan menghianati hasil, di samping juga
selalu berdoa agar apa
yang ia usahakan selama ini dapat terbalas.
Beberapa hari kemudian, ia diberitahu bahwa ia lolos tes dan masuk kelas 3 A Ula.
Lalu ia menceritakan hal tersebut kepada keluarganya ketika jam kunjungan. Ia
bertekad agar apapun yang ia ceritakan kepada keluarganya adalah kebaikan dan
kebahagiaan. Ia juga berpesan agar bersungguh-sungguh dalam mencari ilmu dan
jangan sampai terbersit bahwa kita tidak bisa. Yakin dan niatkan pada Allah, juga kedua orangtua kita bahwa kita
pasti bisa.