Ilustrasi Mayit |
PPRU 1 Fikih | Kremasi atau pengabuan adalah praktik menghilangkan jenazah
manusia setelah meninggal dengan cara membakarnya. Setelah proses kremasi
selesai dilakukan, abunya disimpan oleh pihak keluarga atau ditebar di tempat
tertentu, seperti laut. Kremasi dipercayai untuk menyempurnakan jenazah kembali
ke Sang Pencipta. Namun, pertanyaannya adalah, bolehkah kremasi dilakukan untuk
jenazah Muslim atas permintaan keluarga?
Hukum Kremasi dalam Islam
Agama Islam
telah mengatur penanganan jenazah dengan cara yang sangat jelas, yaitu dengan
menguburnya di dalam tanah. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman dalam
Al-Qur'an:
اَلَمْ نَجْعَلِ الْاَرْضَ كِفَاتًاۙ اَحْيَاۤءً وَّاَمْوَاتًاۙ
Artinya: "Bukankah Kami menjadikan bumi sebagai (tempat) berkumpul, bagi yang (masih) hidup dan yang (sudah) mati." (Al-Mursalāt: 25-26).
Menurut Ibnu
Asyur (w. 1393 H), ayat ini menunjukkan bahwa Allah menjadikan bumi layak untuk
mengubur mayit. Allah telah mengilhamkan hal itu kepada anak Adam ketika dia
membunuh saudaranya (Qabil dan Habil), seperti yang disebutkan dalam Surah
Al-Ma'idah. Dari ayat ini, beliau menyimpulkan bahwa wajib mengubur mayit di
dalam tanah kecuali dalam situasi darurat, seperti jika seseorang meninggal di
kapal jauh dari daratan atau tidak bisa berlabuh, atau jika berlabuh akan
membahayakan penumpang. Dalam kasus ini, jasad tersebut boleh dilemparkan ke
laut dan diberi pemberat agar tenggelam ke dasar laut.
Pada akhir
penjelasannya, beliau mengatakan:
"Dan karena itu, tidak diperbolehkan membakar mayit seperti yang dilakukan oleh Majusi India, atau seperti yang dilakukan oleh beberapa bangsa Romawi, ataupun meletakkannya untuk dimakan burung pemangsa seperti yang dilakukan oleh Majusi Persia. Orang-orang jahiliyah dahulu memuji mayit yang dimakan oleh binatang buas atau serigala, yaitu orang yang mati terbunuh di padang gurun." (Muhammad at-Thohir Asyur, At-Tahrir wa At-Tanwir, [Tunis, Dar-At-Tunisia: 1984 M], juz 29 halaman 433).
Al-Bahuti (w.
1051 H), ulama mazhab Hanbali dalam kitabnya Kisyaful Qina' juga menegaskan
keharaman membakar bagian dari tubuh mayit:
"Haram memotong bagian dari tubuh mayit, menghancurkan tubuhnya, atau membakarnya, berdasarkan hadits: 'Mematahkan tulang mayit sama seperti mematahkan tulang orang hidup,' dan karena kehormatannya masih tetap ada. Dan meskipun mayit tersebut berwasiat untuk hal itu, yaitu tentang pemotongan, penghancuran, atau pembakaran, maka tidak boleh melaksanakan wasiatnya karena ini termasuk hak Allah Ta'ala. Tidak ada kewajiban ganti rugi (diyat) pada mayit jika bagian tubuhnya dipotong, dihancurkan, atau dibakar. Namun, wali mayit harus melindunginya dan menolak dari orang yang ingin memotong bagian tubuhnya dengan cara yang paling mudah, seperti menolak penyerang yang mengancamnya." (Manshur bin Yunus al-Bahuti al-Hanbali, Kisyaful Qina' [Saudi, Wazirotul Adl: 2008] Juz IV, cet I, halaman 224).
Kesimpulan
Dengan
penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam syariat Islam, jenazah
harus dikubur di dalam tanah. Tidak diperbolehkan membakar bagian tubuh mayit,
apalagi seluruh tubuhnya, karena membakar jenazah bukan tradisi agama Islam.
Selain itu, membakar mayit dapat merusak kemuliaan dan kehormatan mayit.
Pembakaran jenazah tidak boleh dilaksanakan walaupun itu adalah keinginan atau
wasiat dari mayit sendiri. Dalam Islam, kehormatan mayit masih tetap terjaga
sebagaimana ia hidup.
Wali mayit atau
pihak keluarga seharusnya menolak dan menjaga agar tidak sampai terjadi
pembakaran terhadap mayit, terutama yang beragama Islam. Sebab yang demikian
itu tidak dibenarkan dalam syariat Islam. Adapun keluarganya yang non-Muslim
seharusnya tidak memaksakan diri untuk mengikuti tradisi kepercayaan agamanya,
sebab di Indonesia menjamin keragaman beragama dan menjunjung tinggi toleransi
beragama, sesuai ajaran agamanya masing-masing.
0 comments: