SEPOTONG EPISODE
Oleh: Afro Makia
Fajar
menyingsing dengan indahnya. Awan tergumpal dilangit angkasa raya pertanda
cuaca mendung tak seperti biasa. Mungkin ada yang bersedih hati, batinku
tersenyum. Dia menghela napas panjang “tugas dari ning bikin sumpek”.
Kini
ulas senyum nyata terukir di bibirku. “gak apa-apa, Ning, hanya percaya sama
kamu untuk menyelasaikan tugas yang kamu sebut aneh itu.” Tugas yang
dibicarakan sebenarnya tak aneh. Tak lebih dari tugas menerjemah kitab yang
diminta dari Ning.
Namanya
Andira, murid berprestasi yang disegani seantero pesantren karena ia termasuk
ustadzah termuda sejak umurnya baru 15tahun. “masalahnya menenerjemah kitab
jawahirul bukhori yang tebalnya lebih dari 500 halaman.” Ia menekuk wajah.
“apalagi ditambah Ning pengen dibuat kisah menarik disetiap babnya bisa-bisa
aku bikinin skripsi aja. Sama aja aku lagi meneliti, iyya kan?” lanjutnya
mendumel. Aku merogoh sesuatu di saku kemeja ku, memperlihatkan kepadanya
seraya berkata, “ La Tahzan, Innallaha ma’a shobirin“ dia mengambil kertas
berisi surat keputusan rapat tentang kepulangan santri. “ Ini beneran? Tuh kan,
Gayatri Rumi the best! kamu dapat darimana?” Dia berbinar-binar, menjawil
pipiku. “Apasi Ra? Coba di buka!” ia pun bergegas membuka lipatan dan mendesah
kecewa. Aku tertawa, menatap kertas yang ku temukan di sampah bagian kertas
dimana surat keputusan rapat yang tak rampung dibagian penetapan tanggal.
Mataku
menatap alihsesosok santriwati yang berjalan ke arah kami, dengan tergesa ia
berkata, “Ditimbali Ning Auli.” Aku melotot kaget, sedangkan Dira malah kelewat
santai “Makasi,” katanya. Aku menarik tangannya “Ayo” Dira menggeleng “Paling
di tanyain tugas anehnya” ucap Dira. Aku tak menghiraukan, berjalan ke arah
panggilan. Hafal betul, karenaDira akan menyusul dan berkata “Iya deh iya”,
Sesampainya
di ndalem, beliau malah menyuruhku ke teras depan dimana mobil Ayla berwarna
Dark Grey sudah terparkir disana. Aku terheran “Yeay diajak jalan-jalan”Ujar
Dira. “Masuk Mbak” suara dari belakang kami mengejutkan. Aku tahu ini siapa,
dengan memendam segala tanya aku mengambil langkah dan melaksanakan perintah.
Aku dan Dira duduk berdampingan di jok tengah serta Ning Anjani Aulidi jok
depan bersama Gus Fikhar Emran-kakak kedua beliau. Mobil
melenggang pergi, hanya menyisakan lengang sepanjang jalan.
***
Mobil menepi ke rumah yang aku
sendiri tak tahu. NingAuli sudah melangkah jauh bersama Gus Emran serta aku dan
Dira yang sedang membuntuti. Aku faham, bendera kuning di pelataran rumah
menandakan salah satu penghuni rumah kembali kepada-Nya.
“2.3.2-2.7.2?” oke, Dira membisikkan
kode-kode percakapan kita agar tak ada yang tahu. Yang berarti, ada apa?
“8.2.52.94.43.93.2.42”
Aku menanggapi pendek. “74.43.2.7.2?” Dia kembali
bertanya. Aku mengedikan bahu.
Seperti acara takziah lainnya, khas
dengan suka cita, menyalami, acara tahlilan, dsb. Aku berfikir ini salah satu
rumah alumni pesantren. “Umur kamu berapa Rum?” Ning Auli memandang kearahku.
Alisku bertaut, “Dua puluh Ning”. Kembali hening.
Gus Emran bergabung dengan sebangsanya.
“Jenazah masih disholatkan. Namanya Mbah Darsuki santri pertama Abah Yai. Beliau
wafat tadi shubuh dengan umur 89 tahun. Masya Allah,” ujar Ning Auli. Aku
takjub, beliau mendapat bonus umur dua puluh enam tahun. “Dikarenakan apa Ning?
Sakitkah?” Dira bertanya antusias.
“Sudah waktunya. Beliau hanya
tinggal bersama cucunya. Cucu beliau menemukan Mbah Darsuki tergeletak diatas kasur
seperti baru pulang dari masjid, terlihat dari baju koko yang beliau kenakan,”
“Masya Allah” gumamku tanpa sadar.
“Selain karena rumah beliau yang
berdekatan dengan masjid beliau memang sudah terbiasa sholat berjamaah sejak
dipesantren dulu, kata Abah” tambah Ning Auli.
Terdengar suara kaum adam yang
keluar dari masjid seberang rumah. Jenazah mungkin akan diantar ke peristirahatan
terakhir. Aku yang hendak berdiri ditahan oleh Ning Auli, “Sebenarnya, saya
mengajak kalian untuk menghadiri pemakaman Mbah Darsuki” jeda 3 detik “Saya
tidak suka pemakaman” lanjut beliau tersenyum.
“Jadi
rumor njenengan takut hantu itu bener Ning?” Tanya Dira spontan. Beliau
terkekeh disertai pipi yang merona.
“Saya
bukan takut hantu, saya takut tempat makamnya, kuburan.” Aku dan Dira
menanggung-ngangguk patuh. “ TapiRumi saja yang ikut, Dira disini bersama
saya.” Dira mendesah kecewa.
“Tapi
saya takut salah Ning.” Ning Auli tersenyum. “Nanti saya suruh kak Ran
menemani” aku menghela nafas kaget. Belum sempat aku merespon, suara gus Emran terdengar “Auli,
ayo.” Ning Auli mengusap lenganku. Aku melangkah, mengangguk kepada Gus Emran
dan bergegas ke arah jalanan.
***
Sepanjang
jalan tadi, tidak ada terik panas dan jarak terasa dekat. Sungguh lagi-lagi aku
dibuat kagum. Ketika hampir sampai, suara-suara penduduk terdengar heboh, aku
dibuat heran “apa yang terjadi?” batinku. Maklum, aku berada di barisan paling
belakang. Namun, disampingku muncul sosok Gus Emran. Bapak-bapak dan Ibu-ibu
yang ikut mengantar serempak berucap “Subhanallah” Aku semakin dibuat linglung,
ketika aku berjinjit dan sedikit menerobos barulah aku mengerti. Disana, ada
sesosok jenazah yang kain kafannya masih putih bersih dan tubuh si jenazah
tidak sedikitpun menjadi kerangka. “Itu siapa, Bu?” aku memberanikan diri
bertanya pada Ibu-ibu disebelahku. “oh, itu istrinya Mbah Darsuki, beliau
berwasiat agar dimakamkan berdampingan. Saatdigali ternyata jenazah Umi Rukmana
masih utuh. Tidak heran, mereka sepasang suami istri yang taat. Makanya, kita
takjub. Kekuasaan Allah.” Jelasnya.
Tak
sadar air mataku menetes. Berulang kali aku berucap takbir dalam hati.
Sepanjang
prosesi pemakaman aku sungguh merasa sangat tentram. Ini pengalaman
menyenangkan bagiku. Tidak ada yang tahu seperti apa jalan takdir seseorang.
Bukan seberapa baik hidup di dunia. Tapi seberapa pantas ia berada di surga.
Bahkan banyak kisah orang-orang yang awalnya memiliki perangai buruk menjadi
seorang yang sangat berpengaruh dalam Islam. Dalam cerita Mbah Darsuki dan Umi Rukmana,
aku tak tahu apa keistimewaan mereka tapi dapat disimpulkan mereka adalah
sepasang kekasih yang berjalan di jalan-Nya.
Sekembalinya
aku kerumah Mbah Darsuki, sepanjang jalan Gus Emran berada dekat denganku seakan-akan
gerak-gerikku diawasi oleh beliau. Aku berusaha bersikap sewajar mungkin meski
tanpa sadar kami saling melempar senyum.
***
Namun ekspektasi tidak sesuai kenyataan,
padahal aku tidak sabar untuk menceritakan kejadian aneh tadi pagi. Tatkala
rumahnya terlihat, mereka malah beringsut keluar dari pekarangan rumah seraya
berkata“ Ayo Rum, hampir dhuhur sebaiknya kita sholat dijalan,” Aku mengangguk.
Jelas aku tak bisa bercerita saat ini. “Goodnews” bisikku didekat Dira. “Apa?”
ia merespon dengan mata berbinar. Namun aku sedikit memberi jeda dengan
memasuki mobil.
Barulah
dimobil aku menceritakannya kepada Dira dan Ning Auli yang serta merta ikut
mendengarkan. Aku antusias melihat mereka tampak berkaca-kaca, “Tapiapa ya Rum,
keistimewaan beliau?” Tanya Dira. “Jelas mereka adalah orang yang taat
beribadah” Ning Auli mendahului jawabanku. Aku tersenyum “dan pastinya sangat
pantas berada di surga-Nya.” Lanjut Ning Auli.
“Dari
yang tadi aku dengarkan dari Abah Yai, beliau berdua tidak pernah meninggalkan
masjid. Bukan hanya untuk sholat lima waktu, tapi beliau juga membersihkan
masjid tanpa pamrih. Sembilan puluh persen pembangunan masjid beliau
donaturnya.” Ujar Gus Emran mengimbangi percakapan.
“Juga
dari penjelasan Ning Auli, Mbah Darsuki tergeletak diatas kasur. Saya
membayangkan betapa mudahnya sakarotul maut beliau” lanjutku.
“Ini
sama seperti penjelasan kitab Jawahirul Bukhari dalam hadist nomor 104 tentang
keutamaan masjid dan tujuh orang yang akan diberi naungan di padang mahsyar.
Salah satunya pada nomer tiga, orang yang hatinya terkoneksi pada masjid” Dira
tak mau kalah. Aku menangguk faham, lagi-lagi hatiku bergetir.
“Hadistnya
seperti ini bukan?وَرَجُلٌ قَلْبُهُ
مُعَلَّقٌ فِي الْمَسَاجِدِ .” Imbuhku, Dira memberiku dua jempol.
“Benar,
saya agak lupa tentang hadistnya” aku Ning Auli
Kemudian
hening, euforia kagum akan kisah beliau berdua terpatri pada wajah kami. “Rum,
4.82.74 - 6.32.53.43.73.43.52”
ujar Dira yang berarti, Gus melirikmu.
Aku terdiam dan melihat kearah kaca spion dimana mata kami saling bertemu. “6.32.53.43.73.43.52
- 5.2.53.2.62” ujarku menepis firasat Dira. Aku
tahu apa yang difikirkannya. “Bukan hanya sekali ini saja kan?”Benar sih, tapi
aku yakin mungkin beliau hanya iseng.
“Bye
The Way, didalam hadist tadi semoga kita termasuk ya Dir, bukankah nomor
empatnya adalah orang yang saling mencintai karena Allah, bersatu dan
berpisahnya pun karena Allah.” Kataku, melarikan diri dari firasat.
Serempak
kami menjawab “Aamiin”
“Walaupun
tidak,di nomer dua kalian sudah mendapat naungan di padang mahsyar karena
mengorbankan masa muda dan berjuang, beribadah, belajar dijalan Allah, tempat
Allah, pesantren” Ning Ara menambahkan.
Aku
dan Dira tersipu sambil mengamininya.Setidaknya suasana mobil tidak seperti
tadi yang berteman sepi.
“Aku
banyak belajar tentang ini.” Ucap syukur dalam hati.Sampai akhirnya Gus Emran
berkata hal yang membuat Ning Auli dan Dira bertanya-tanya. Sedang aku bingung
merespon bagaimana.
“74.32.6.63.4.2
– 52.43.8.2 – 8.32.73.6.2.74.82.52,
nomor empat ya Rum?”
Aku
melupakan gelar filsafat yang melekat pada Gus Ran, selanjutnya entah bagaimana
aku tak sadar. Aku dibuat berujar oleh alam semesta.
“Aamin”
disebelahku, Dira seakan mengerti dengan memandang aneh kepadaku seakan
berkata, “Tuhkan, apa kubilang.”
0 comments: