Na‘at Maqtû‘
Oleh: Gus Muhammad Hilal
Ilmu Nahwu itu kadang bikin gemas. Saat membaca “kitab gundul” (buku berbahasa Arab tanpa harakat), kadang muncul beberapa kalimat (Arab: jumlah) yang sulit dipahami karena kedudukan i’rab atau vokal akhirnya sulit ditangkap.
Contohnya adalah sebuah teks dalam Kitab Idzah al-Nasyi’in, yang saya kaji setiap malam Selasa bersama teman-teman pondok, berikut ini:
و متى بَلَغَ الحسدُ بالحاسد هذا المبلغ، كان وحشًا ضاريًا وأفعى في أنيابها السُمُّ ناقعٌ .
Dan ketika sifat dengki sudah mencapai tingkatan itu [tingkatan rela menyakiti orang yang didengki] dalam diri pengidapnya, maka dia ibarat hewan buas nan berbahaya, dan ular mematikan yang taring-taringnya mengandung bisa.
Persoalan yang membingungkan itu ada di kata terakhir: ناقع. Yang terpikir waktu itu adalah dua solusi yang sama-sama problematis.
1. Kata itu adalah na’at dari kata sebelumnya, al-summ (السم). Namun tidak tepat karena keduanya tidak sejajar: kata al-summ adalah makrifat dengan partikel al, sedangkan kata nâqi‘ adalah nakirah. Kedua kata yang demikian itu tidak bisa jadi susunan na’at-man’ut (meskipun secara semantis kedua kata itu cocok, bisa berarti “racun yang mematikan”).
2. Kata nâqi‘ menjadi na’at dari lafaz af‘â (أفعى). Solusi ini lebih mengena, sebab keduanya sama-sama isim nakîrah, jadi bisa dibikin sebagai susunan na’at-man’ut meskipun dipisah oleh sebuah kalimat di tengah-tengahnya (Arab: jumlah mu‘taridlah). Namun lagi-lagi hal itu problematis, sebab lafaz nâqi‘ ditulis dengan harakat rafa‘ oleh penulis atau penerbitnya, sedangkan lafat af‘â berharakat nashab (menjadi khabar-nya kâna). Seharusnya keduanya sama-sama berharakat nashab dong.
Pikiran saya berputar-putar mencari kedudukan kata itu. Muncul pertanyaan-pertanyaan di luar wilayah kebahasaan Arab: apakah penulis kitab ini salah tulis? Atau jangan-jangan itu karena salah cetak? Ah, masa sih begitu
Agar tidak ditanggung sendirian, saya sampaikan persoalan itu kepada teman-teman mengaji malam Selasa. Saya sampaikan bahwa itu adalah persoalan yang membuat saya bingung. Barangkali teman-teman ada solusi?
Salah seorang dari mereka ada yang menawarkan solusi: itu adalah Na’at Maqtû‘. Oke. Na’at dari mana? Na’at dari af‘â, jawabnya.
Setelah dicermati sebentar, pikiran saya langsung terbuka. Binggo! Ini dia solusinya. Na’at Maqtu‘! Kenapa dari semula tidak terpikir jenis na’at satu ini ya?
***
Na’at Maqtu‘ adalah jenis na’at yang tidak ikut aturan umum. Jika pada umumnya harakat na’at harus ikut man’ut, maka na’at maqtu‘ tidak demikian. Na’at Maqtû‘ membangkang kepada man’ut-nya.
Kenapa dalam Bahasa Arab terdapat na’at maqtu‘? Sebab ada tujuannya. Seseorang yang berkata dengan menggunakan na’at maqtu‘ menyiratkan suatu pujian atau celaan (li mujarrad al-madhi wa al-dzammi).
Na’at Maqtu‘ bisa dibaca rafa’ (untuk kasus man’ut selain harakat itu) atau nashab (untuk kasus man’ut selain harakat nashab). Jadi, kalau man’ut-nya berharakat rafa‘, maka na’at maqtu‘-nya jangan ikut rafa‘. Gagal dia jadi maqtu’ jika begitu. Begitu juga kalau man’ut-nya berharakat nashab. Singkatnya, harakat rafa’ atau nashab ini tergantung harakat man’ut-nya.
Contoh paling gamblang dari na’at maqtu‘ adalah Surat Al-Masad ayat 4:
وَامْرَأَتُهُ حَمَّالَةَ الْحَطَبِ
Dan istrinya yang selalu membawa kayu bakar.
Kata hammâlah (حمالة) seharusnya menjadi na’at dari wa-mra’atuh (وامرأته), dan oleh karena itu seharusnya berharakat rafa‘. Namun ternyata tidak. Kata hammâlah malah dibaca nashab, karena menjadi na’at maqtu‘. Tujuannya adalah mencela perangai buruk dari perempuan yang diceritakan dalam ayat itu, yakni istri Abu Lahb (baca Sejarah Islam tentang buruknya perangai perempuan satu ini).
Contoh yang lainnya adalah teks yang saya kutip di atas. Kata nâqi‘ menjadi na’at maqtu‘, sehingga dia dibaca rafa’, padalah seharusnya berharakat nashab. Tujuannya apa? Tujuannya adalah mencela perangai buruk dari orang yang dengki hati.
Demikianlah, Bahasa Arab menjadi sangat efektif dan efisien karena sanggup mengatakan sesuatu secara tersirat.[]
0 comments: