Judul sekaligus pertanyaan diatas tidak sepantasnya terlontar. Namun dari pertanyaan ini pula bisa melahirkan alasan mengapa kita butuh
guru. Bagaikan bayi kecil yang lahir kemudian ia dengan sendirinya merangkak,
kemudian ia dengan sendirinya berjalan seolah mengetepikan setiap orang yang
mengiringi proses si bayi menuju tahap bisa berjalan. Atau analogikan dengan tukang
bangunan, bermula dari ketidak-tahuan dalam dunia konstruksi, namun berbekal pengalaman
bertahun-tahun dengan turut andil di berbagai proyek, kini situ klang bangunan tersebut
tak lagi susah untuk melakukan kerjaannya. Dengan gampangnya ia mengaduk semen
tanpa memperhitungkan takaran semen,
batu dan air.
Terkadang kita dapat mengetahui dan mempelajari sesuatu dengan sendirinya dengan proses
yang berbeda-beda, “mengetahui dan mempelajari” tanpa guru seperti ini dinamakan otodidak.
Kata otodidak adalah bentuk tidak baku dari
kata autodidak sehingga penulisan yang benar adalah autodidak. Penulisan kata yang benar disebut juga dengan kata
baku yaitu kata yang
penulisannya sesuai dengan Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI). Namun pengucapan otodidak lebih masyhur dikalangan
kita. Otodidak berasal dari bahasa Yunani “autodídaktos” yang memiliki arti
belajar sendiri. Maka secara terminologi otodidak merupakan orang yang tanpa bantuan
guru bisa mendapatkan banyak pengetahuan dan dasar empiris yang besar dalam bidang
tertentu. Mereka mendapatkan pengetahuan tersebut dengan belajar sendiri alias
tanpa guru.
Lantas apakah hal ini patut dibandingkan dengan keberadaan guru?. Seringkali
kita mendapati murid yang lebih cerdas dari gurunya atau murid yang karirnya lebih
sukses dari mentornya. Apapun itu, kehadiran guru sebagai ahli ilmu tak bisa dikesampingkan.
Meskipun zaman sekarang semua ilmu pengetahuan beserta cabang keilmuannya bisa didapatkan
di google. Atau murid yang meremehkan guru karena hanya menganggap sang guru
mengetahui ilmu itu lebih dulu darinya. Namun tetap saja yang namanya guru
adalah guru, guru adalah sosok bersahaja dan spesial.
Disini perlu dipahami bahwa ilmu punya derajat yang istimewa baik dimasa hidup
atau dimasa setelah kehidupan. Semua yang terkait dengan ilmu makasudah seyogyanya
agung dan diagungkan. Mulai dari ilmu itu sendiri, guru yang mengajarkan ilmu,
sekolah tempat mencari ilmu dan seterusnya.
Kadang kala kita butuh alasan untuk melakukan sesuatu atau stimulus agar
melangkah. Berikut adalah sedikit alasan untuk mengagungkan ilmu:
Fasal 4 KitabTa’limMuta’allim:
اعلم
أن طالب العلم لا ينال العلم و لا ينتفع به إلا بتعظيم العلم و أهله, وتعظيم
الأستاذ وتوقيره
Seorang pelajar tidak akan memperoleh kesuksesan ilmu dan tidak pula manfaat ilmunya kecuali ia mengagungkan ilmu, ahli ilmu, serta menghormati gurunya.
·
Barokah
Sulit memang untuk mendeskripsikan barokah karena ia tidak kasap mata, tidak bias dihitung, tidak
pula bias diwujudkan.
Barokah itu lahir dari kebaikan,
dikalangan dunia Pesantren melakukan khidmah ke Pesantren,
mematuhi ataurannya,
ta’dzim pada Kyainya, disitu cikal bakal lahirnya barokah kelak. Barokah itu membawa kita lebih dekat pada Allah swt,
bukan sebaliknya. Dan
bukan tidak mungkin barokah itu datang berkat sang
Guru.
·
Simbiosis Mutualisme
Cara paling
mudah mengartikan simbiosis mutualisme adalah timbale balik. Seperti hubungan antara kupu-kupu dengan bunga, atau hubungan antara lebah dengan
madu yang saling melengkapi. Jika disaat menjadi murid anda bisa “melengkapi”
majelis ilmu dengan menjadi murid yang aktif dan baik, maka kelak ketika anda menjadi
guru, andapun sebagai guru yang hebatakan “dilengkapi” oleh murid yang
menghargai gurunya. Jika anda menanam kebaikan, maka mustahil anda akan memanen
keburukan.
Coretan ini adalah renungan, renungan untuk kita yang
mulai memahami ilmu dan mulai bisa mengkritik ilmu, mulai bisa menemukan celah dalam
ilmu. Semoga kita tetap membumi meskipun dilayangkan oleh banyak pujian. Karena
kita tidak akan sukses kecuali atas ridlo Allah swt, do’a kedua Orang Tua, dan didikan
ilmu dari Maha Guru.
24 Januari 2021
0 comments: