LARASATI.
APAKAH
KAU MENCEMASI TUNANGANMU?
Oleh:
Mukhlis Akmal Hanafi
Aku merasa takjub dibuatnya. Jika kau tau, betapapun anggunya dia
saat memakai kemeja berwarna hijau, dilapisi lipstik berwarna merah, dan
berbaju putih kebawah. Walau dunia gelap gulita, namun rasa-rasanya
seakan terang cahaya hatinya. Sebagai orang
yang terlanjur jatuh dalam pangkuannya, aku seutuhnya bukan siapa-siapa. Jika
ditanya apa hubungan kita? Aku hanya bagian kecil yang masih tersisa yang
melintasi harapan besar selanjutnya. Dalam kaca matanya. Akulah manusia dengan
segudang harapan yang tak mampu merengut belas kasih sedikitpun darinya.
Jika diumpamakan, saya layaknya jadi hujan yang mampu menjelma apa
saja, mendiagnosa secara paksa, dan mencatat bait demi kata melalui hal yang
sederhana. Jika kau mengira bahwa hujan punya tiga impian. Antara lain pernikahan,
kematian dan juga harapan. Maka akulah diantara ketiganya.
Perkenalkan namanya larasati, bisa juga dipanggil laras. Aku
mengenalnya sebagai perempuan jawa dengan mahkota dibagian tabahnya. Aku juga
kenal dia tidak secara kasapmata, namun mampu membius segala bentuk yang ada.
Secara garis besar, laras merupakan satu-satunya wanita yang pernah kusimpan
dalam pintu rahasia. Jikapun ditanya “Apakah aku mau menikahinya?” maka jawaban
yang paling lambat kusampaikan adalah “Iya”. Sementara itu aku dan dirinya masih
belum diberi kesempatan bertemu dan berpandang-pandang. Sekedar memastikan hal
yang masih membayang. Mendengarkan beberapa yang halus dari kata demi kata, melihat
sorot matanya yang tajam yang dipenuhi oleh kata hampa, dan bernyayi bercanda
ria dibawah kesedihanya.
Jika lebih jauh lagi, hal yang paling kuingat darinya adalah
saat-saat semua orang lebih suka memanggilnya “Ibu” daripada harus sibuk
memanggil namanya.
Jikapun begitu. Ia tampak seperti orang yang baru kenal, ia
terlihat cuek dan pendiam. Rasa-rasanya banyak yang ia pendam, dan hanya
tersimpan didalam angan. Ia juga terlihat seperti tangan yang secara garis
filosofis setia kepada siapapun. Ia tampak sabar dan tabah. Sifat ke ibu-ibuan akan
membuat setiap orang mencuri-curi pandang. Hingga tak jarang kelembutan dan
manisnya bertutur kata dan berprilaku kepada sesama akan banyak menjatuhkan
korban.
Semenjak aku mengenalnya, tak jarang hari-hariku dipenuhi oleh
perasaan yang membabi buta, pikiranku jauh meangkasa, hasrat untuk memilih
seutuhnya merupakan impian yang paling mulia. Sepanjang perjalan yang disebut
perasaan selalu merasa sampai pada tujuan, padahal diangap teman saja tidak.
***
Rasa-rasanya batinku dipenuhi cemas yang berlebihan, hasratku
dikubur dalam ingatan yang muram. Saat itu ada selembar berita diatas meja
bertulisan sangat besar dan juga hitam. Tulisan itu jelas mengubur mimpiku
dalam-dalam. Kata-katanya membanjiri seluruh harapan yang akhirnya membuat api
padam. “Kita hanya teman, dan sebentar lagi aku akan tunangan”
Tiba-tiba saja kepalaku terasa pening, pandangannya
berkunang-kunang, dan kupingku terasa tidak bisa mendengar. Sementara itu, aku
melihat dia bagai penjahit tangan handal yang dengan tabah memasukkan benang
kebagian jarum yang kecil itu. Ia terlihat ragu dan malu-malu. Oleh sebab itu,
batinku yang cemas, hasratku yang tercabik-cabik. Kini terasa menjadi satu
dalam pragraf perpisahan.
Sebelum kejadian paling kejam. Aku sebetulnya punya firasat yang
buruk. Biasanya ia datang secara tiba-tiba, sesekali melintas dibalik kaca, dan
ada juga yang berkata. “Mundur saja”
“Hanya
cinta yang aku punya untuk merubah segala bentuk rahasia menjadi malapetaka,
kawan”
“Laras..! Aku mengira kau akan setia, kawan!” Nasibmu sudah tidak sebagus cerirtamu. Panggilanmu sudah tidak
seakrab dulu. Namamu kini mulai punah dimakan waktu. Kau harus tau perasaanku
sudah tercabik cabik oleh sekertas berita “Aku sudah tunangan, kawan”
Tepat pada sore itu aku melamun sendirian didepan jendela,
memandangi segala bentuk yang ada. Aku sadar bahwa aku memang bukan
siapa-siapa. Selain itu, larasati telah mendiagnosa batinku secara paksa,
perasaan itu terasa asing dan tidak seperti biasanya.
“Namun apalah daya jika begitu adanya, kawan”
Diteduhi bola mata yang lentik dan juga hitam, bibirnya sukar
dilukiskan, dan selaksa senyum mengundang pandangan setiap orang. Aku ucapkan
selamat malam dan selamat tinggal kawan. Kau satu-satunya wanita yang mudah tergambar
dalam pikiran. Wajahmu sekarang terlihat seperti anak yang baru lahir satu jam.
Lapisan kecil saat kau memutuskan senyum, sekarang hilang sudah harapan. “Jikapun
kau memilih tunanganmu yang ganteng dan rupawan, bergelimang harta dan mahkota
dimana saja, dan berlapis kemulian yang tiada tara. Maka satu-satunya harapan
adalah meminta maaf sebanyak yang kau kira”.
Akhirnya aku mulai sadar, bahwa segala yang ditakdirkan akan
tergenang dalam diriku. Ia mengalir beberapa menit dengan tajam. Sesekali melumpuhkan
harapan yang telah lama kita rasakan.
Hinga tak jarang ada teman yang beranggapan aku dilahirkan untuk merasakan
pahitnya terbaring dibantal, sambil menatap beberapa harapan yang masih
tergantung dikamar. “Percayalah ini memang bagian dari Kutukan”
Decap decup suara jangkrik mulai menyala, malam yang muram telah
menyapa, tangisan kodok berbunyi “wek-wek” sudah terdengar di telinga. Kita
saksikan bersama matahari terbenam di utara. Waktu itu cuaca senyam oleh derai
air mata kita berdua. Aku mengira suara tangisan itu lahir dari para kucing
nakal yang hendak mencari makanan di waktu malam. Saya juga sadar bahwa
perasaan saya dibawa kepada suara jeritan tetangga dengan nada amarah yang
ditunjukkan kepada anaknya. Nyatanya kita sedang menangis tersedu-sedu dibawah
pohon cemara kawan. Sepasang matamu masih saja terbaris di kaca, mengarahkan
wajahnya dengan seutas senyum lalu menepuk dibagian dada. Aku berpikir kau
beruntung mendapatkanya. Menangislah! Selagi dirimu telah mampu
mendapatkan laki-laki yang sebelumnya kau puja.
Yah malam itu aku sungguh nestapa oleh dinginnya udara dan badai
rindu saat-saat kita bersama. Saat yang lain sibuk mencari kertas berita duka
itu. Aku lebih baik diam didepan jendala, memandangi segala bentuk yang ada, dan
sedikit memastikan beberapa jam setelahnya. “Tunangan” Spontan ujung
kepalaku seakan ada dimana-mana, menghayalkan apa saja, menepuk kepala dan berfikir “kau manusia
cam apa? Dalam hidupku hanya dirimu yang paling aku tunggu”. Entah mengapa,
kata-kata itu seolah jadi malapetaka bagi saya. Sewaktu-waktu akan menyerang
tubuh siapa saja, menyerang bagian mana saja. Bahkan bisa juga menyerang bagian
otak dan kepala. “Sial, sebegitu indahnya kah orang yang sedang berbahagia” Aku
ucapkan sumpah murahan itu, lalu berpikir “Mustahil rasanya memilih mereka
yang belum kenal seutuhnya”
Sepasang mata masih saja memandang wajahku dengan tajam. Kau tau,
saat itu wajahmu terlihat muram, matanya merosot lalu terbenam, selaksa alisnya
mengikuti alunan hewan berdendang. Seolah masih menuntun jawaban atas pertanyan
yang kali pertama kau tanyakan. Suara kodok dan berbagai macam hewan yang
tadinya keras terdengar. Sekarang rasanya hanya tinggal suara gendang di dada.
Anganku bertindak sendiri semaunya, alunan itu terasa benar adanya. Kamu tau
saat kau memutuskan melempar pertanyaan itu. Aku berpikir sangat panjang, dan
menghela napas dalam-dalam, lalu menjawab “Wallahu a'lam”. Hanya Tuhan yang bisa menentukan.
Dengan langkah gontai, saya masuk ke kamar, merebahkan diri di
ranjang. Tercium bau ikan. Aku mencoba untuk memejamkan mata, kemudian
membukanya lagi. Pandangannya sudah tidak seperti biasnya, hidup satu jam
bagaikan hidup bertahun-tahun di gurun. menerawang ke atap rumah yang diteduhi
bayang-bayang. Dinding tanpa plester, lantai semen kasar berdebu, demikian juga
lemari kayu. Semua terlihtat seperti dirimu.
Waktu itu tanganku yang lunglai kini terasa gemetaran. Kakiku yang
tegas kini sudah tidak bisa berjalan. Mataku yang bundar sekarang sudah sulit
sekali dipejamkan. Hampr saja saya ucapkan hal yang “sial”
***
Kita adalah sepasang sepatu
yang talinya kusut akibat perputaran waktu yang berlalu. Kita juga sepasang
tali dalam sepatu yang sulit dipisahkan dalam kedipan mataku. Kau tau, tali itu
terikat-ikat oleh perasaan teman dan kasih sayang. Oleh persaudaraan yang barangkali sampai
sekarang masih tergantung dikamar. Kadang juga sekali-kali hadir dan memohon
ampunan.
Aku sering berpikir. Akulah selembar kertas yang tercabik-cabik
oleh tajamnya ujung pensil, oleh derasnya tinta yang tak kunjung habis termakan
usia. Sementara nasibku masih saja terombang-ambing oleh sebuah pernyataan “kita
adalah teman yang tak akan terpisahkan”. Pernyataan itu cukup sederhana,
namun jangan sangka itu akan jadi malapetaka.
Betapapun bodohnya saya karena telah menyembunyikan perasaan,
tersimpan dalam angan, tergenang dalam kata yang sulit rasanya aku ucapkan.
Naluri wanita memang tidak bisa dibohongi kawan. sembunyi tangan dan melempar
pelampiasan adalah salah satu keistemewaan perempuan.
Ras! Jika kau memang memutuskan begitu, maka percayalah padaku. Bahwa segala yang kau putuskan merupakan hal yang sakral. semua
akan kembali pada pelukan Tuhan, meski seutuhnya banyak kenangan yang akan
tertinggal. Akibat itu, maafkan aku yang tak terhingga kawan. Seutuhnya rasa
penasaran dan rasa curiga masih membekas dikepala.
Tafsir kata, ada beberapa hal yang ingin kusampiakan padamu,
kekasih. pada bagian waktu lainnya, aku percaya cinta itu betul betul nyata,
sayangnya, dia benar benar tidak ada. Aku yakin kau tidak akan ada dua-nya.
Selain itu aku hanya ingin berkata:
Tidak
ada perbedaan
Antara
cinta dan kematian
Keduanya
sama-sama takdir Tuhan
Dan
kemenangan akan berpihak pada perpisahan.
Laras sekarang sudah kehilangan rumahnya. Ia sekarang mulai berani
menginap di kaki lima. Dan menerobos bagian kecil di bibir desa. Aku paham
bahwa perjodohan adalah sebuah kebaikan. Tapi kau juga harus mengerti bahwa ada
orang yang jatuh lalu bangkit lagi.
Maka pahamilah kawan. Bahwa segala yang tergenang akan sampai pada
tujuan, dan segala yang tertuang akan habis termakan. Maka percayalah. Segala
yang ditakdirkan oleh Tuhan, semata-mata menuju ke jalan kebaikan. Sebagaimana air
yang tergenang, ia akan sampai. Dan sebagaimana hujan yang deras mengalir
kebawah tanah, ia akan habis disia-siakan.
Begitupun juga hasratku. Ia sebagiamana air yang mengalir beberapa
jam. Dan tergenang dalam bak besar. Sayangnya kau lebih memilih membuang air
itu dengan harapan kosong.
Lalu, dalam basah dan lelah, dan sambil bersandar di salah satu
dinding rumah. Aku hanya bisa pasrah dan ber-doa.
Jika aku dan dirimu ternyata ditakdirkan untuk berpisah, maka
percayalah aku pasrah pada sang pencipta. Tapi jika aku dan dirimu masih punya
harapan. Besar kemungkinan kami akan tergenang dalam kata-kata yang tak bisa
kuucapkan. Wassalam. []
0 comments: