Bolehkah Santri Pulang dari Pesantrennya?
Oleh: Gus Shofi Mustajibullah
Jika
ditanya apakah santri boleh pulang dari pesantrennya? Jawabannya jelas-jelas
boleh. Bahkan, perlu ditanyakan jika ada santri yang murni betah di Pondok Pesantren
dan tidak ingin pulang kerumahnya. Mana mungkin seorang santri bisa menahan
kangen yang sudah membuncah, yang sudah lama ditahan untuk bertemu kahadibaan
orang tua yang dinanti-nantikan. Namun, ketika tidak dikehendaki oleh para
masyayikh, itu beda lagi ceritanya.
Malahan,
santri yang pulang (baik itu sekedar liburan ataupun boyong) sebenarnya membawa
misi dan tanggung jawab yang berat. Sama halnya dengan tugas-tugas yang diberikan
beberapa pesantren untuk mengabdi kepada masyarakat. Loh kenapa? Bukankah itu
hal yang menyenangkan? Bagi santri (seyogyanya), melepas lahiriyah dan
bathiniyah dari pesantren merupakan pembawaan jati diri pesantren. Tidak ada
satupun santri yang tidak membawa bendera kehormatan dari pesantren
Justru,
hirarki terberat seorang santri adalah ketika ia sudah tidak ada di pesantren.
Mampukah dirinya untuk tetap benar menjadi santri seperti yang dikatakan para
masyaikh-masyikhnya. Tidak ada acuan etika di tengah-tengah masyarakat. Jadi,
untuk penilaian etika di tengah-tengah masyarakat sendiri masih rancu. Terus
menerus menjadi perdebatan. Karenanya, semua santri ditantang untuk memegang
teguh etika ilahiyahnya yang dia bawa dari pesantren. Apalagi di saat kondisi
seperti ini. Santri tetap dituntut menjadi seorang santri yang sebenarnya.
Bukan sekedar membawa alamamater keliling kampung dan di pamerkan bahwasannya
dirinya adalah seorang santri.
Kalau memang seorang santri memungkinkan untuk
pulang kerumah, pulanglah! Selagi itu memenuhi kerinduan seorang santri
terhadap orang tua, teman, tunangan, dan orang-orang rumah, maka pulanglah!
Namun perlu diingat, pesantren memiliki satu
kesatuan yang tidak bisa dipisahkan antara keseluruhan dari bangunan pesantren
itu sendiri, kyai, dan para santri. Ketika satu diantara itu semua berpisah,
seperti contoh santri yang pulang, maka disitulah tumbuh sebuah kerinduan.
Pesantren bukan sekedar bangunan turun temurun yang di wariskan, melainkan
senyawa yang terus bersatu dengan para santri. Siapa yang tidur di pesantren?
Ya santri. Siapa yang berdomisili di pesantren? Ya santri. Siapa yang merasakan
suka duka di pesantren, cebok ilang, gak kebagian pajeak maem (makan),
kotak sabun ilang (hilang), sendal sesean (sandal dengan waqrna yang berbeda? Ya santri. Kalau begini, siapa
yang mau tanggung jawab akan kerinduan ini?
Maka dari itu, kembalilah kepesantren pada waktu
yang sudah di tentukan. Penuhilah kerinduan ini yang akan segera berkabung
kedepannya. Berjanjilah!
~Lihatlah! Sepasang mataku berlinang air mata. Wajahku pucat, mencoba
meraih bibirmu yang sewarna batu akik~
(Maulana
Jalaluddin Ar-Rumi)
Wallahu a’alamu bisshoab
0 comments: