Aku dan Gadis
di Balik Kelambu
Oleh: Syifaur Romie
Terlihat dari sudut
pendopo lama, gerak selambu itu menandakan kehadirannya kembali. Sinar redup
bohlam tak pernah bohong menerpa sosok yang lagi-lagi melukiskan bayang semu dari
baliknyadi setengah malam; mengundang kernyut dahi dalam duduk belajarku mulai
menyempit. Aku tahu, itu kau! Sebagaimana malam-malam lalu sejak kejadian itu.
Tak Kuasa kugapai siapa dirimu sebenarnya.
Bayang tangannya memangkas sedikit celah pada kelambu. Menjadikan
todongan mata ini semakin terpaku menghunus ke arah bayang itu.
Sepintasterlihat dari redupnya malam cahaya mata di antara wajah yang tertutup
hijab itu secepat kilat menyambar keberadaanku. Secepet kilat pula, kau pergi
menghapus bayang semu ditelan kegelapan. Begitu membekas dalam kedipan mata.
Kamu yang masih dalam prasangka benar atau tidaknya kisah itu.
Dan aku masih dalam lamunan mematung terdiam, lembar demi lembar
terkuras pada kertas kuning yang sedari tadi kupangku; kututup perlahan. Seiring
dengan lelahnya hati dan fikiran dalam mengampu tugas barunya. Hati untuk menelaah
siapa sebenarnya dia, apa tujuannya serta tuntutan ujian akhir Madrasah yang dalam
masa cepat harus rampung capain demi capaiannya.
“Tumben tak seperti biasanya, Syad.” Sapa Imam Syafi’i, sahabat
karib sekaligus teman sebaya di kelas. Bagaimanapun juga, dia satu-satunya
orang yang mengetahui perihal panggilan Kiai pekan lalu; lengkap dengan
tujuannya.
“Ya, Mam. Aku duluan.” Sahutku sembari meluruskan kedua kaki dalam
tegak berdiri; membetulkan sarung, siap untuk berpaling. Bahkan tak kusempatkan
diri serius menatap wajah Imam.
Dari balik punggung, Imam menggapai bahu seraya menegur serius
“Syad, kamu yakin bukan tadi itu orangnya?”
“Apanya Mam?”, Sapaku dalam heran. Sembari mulai kutatap wajahnya
serius. “Sudahlah, sedari tadi hanya aku dan kamu di sini. Tidak kita temui mata
lain mengetahui perihal ini. Mestinya kau paham makusudku”.
Kembali kulangkahkan kaki, seakan berusaha menghindar dari kenyataan;
“Ya, barangkali Mam.” Terdengar suara yang semakin jauh mengejar “Ya jangan
lupa, Istikharah cah!” Disusul dengan senyum godanya menghiasi angan yang
kembali melukiskan sosok wanita di balik kelambu itu. Uh, begini sekali
rasanya.
Sesampainya di kamar B-1, kuseka keringat yang mulai mengucur di
sekitar kening. Paling tidak, mengobati sedikit ketegangan yang mulai bercampur
aduk dengan perasaandan fikiran tak menententu. Dimana, banyak orang lain
menyebutnya sebagai; Dilema. Aduhai, bahkan seperti apa sosoknya pun otakku
belum mampu merabanya. Hanya sebatas kisah penggambaran kisah Kiai pekan lalu
di pesantren ini.
Esoknya, dalam dzikir selepas sembahyang Shubuh, ada bisikan pesan
dari seorang yang tak sempat kulihat jelas wajahnya mengatakan bahwa aku telah
dipanggil Kiai guna menghadap. Bersamaan dengan itu juga, keringat dingin mulai
mencucur. Ototku serasa sedikit membeku dalam duduk sila. Dan fikiran khusyuk
dalam sekejap berubah menjadi alun-alun lengkap dengan pasar malamnya; riuh
sesak.
“Sekarang juga, Kang Irsyad”. Teriaknyanya dari kejauhan setelah
beberapa saat.Sosok suara yang tadi membisikiku. Sudah kuterka sosoknya; Umar.
Abdi dalem (Madura: Kebuleh). Senior juga sobat karib dalam catatan
sejarah keberadaanku selama di pesantren. Kini, bergegas dari duduk itu serasa
memandai besi yang kalian mesti tahu betapa kakunya.
Mengayur kepercayaan diri adalah langkah awal dalam mengawali
kelancaran segala urusan. Dengan berkali-kali kuatur senyum di hadapan cermin
kamar, dan minyak oles wangi lengkap dengan pakaian terbaik menurutku, aku
sudah benar-benar yakin dengan maksud dan tujuan akan panggilan ini. Aku
datang; Bismillah...
Melalui langkah lunglai kedua kaki di atas alas yang sengaja tak
kusuarakan ini, gerbang ndalem Kiai mulai tampak dari sudut pendopo pengasuh. Semakin
mendekat, pojok kaca mobil kendaraan beliau mulai tampak. Di saat bersamaan,
kulihat pintu sedikit terbuka seraya kepercayaan diri yang telah kuatur tadi
mulai tercecer di sepanjang jalan.
Dari kejauhan, terlihat bangunan tua dengan gerbang besi sedikit
berkarat terbuka lebarmenyambut siapapun sosok yang hendak menghadap. Betapa
kau tahu, bahkan gerbangnya pun benar-benar disegani para santri. Begitulah
kiranya tradisi pesantren salaf berlaku. Tiada lain kecuali Ikraaman wa
Ta’dziman.
Wajah yang patah membungkuk menghadap tanah, riuh suara pengajian
Al-Qur’an oleh santri putri lengkap dengan sorak sorai guraunya terdengar
semakin menambah suasana mencekam. Tapi apa guna takut, bila saingannya adalah
ta’at.
Hirupan nafas setengah dada kulanjut dengan suara salam tegar keluar
dari mulut penuh dosa ini; “Assalamualaikum..”. Nada rendah lirih
tertahan akhirnya terlepas dari ternggorokan. Bahkan seakan tak ingin kucing
tertidur itupun terbangun dari ringkuk pulasnya. Sejak keberhentianku di
hadapan pintu penuh wibawa itu, kedua tangan saling menumpuk di hadapan perut.
“Waalaikumsalam... Masuk”. Setelah beberapa saat mematung di
hadapan pintu. Perlahan kuangkat kaki yang gemetar dan wajah tertunduk takluk.
Lalu kututup kembali dengan pelannya. Sejenak kuangkat sedikit wajah guna
mengetahui posisi beliau, berubah merangkak dan menyalami beliau dengan kedua
tangan seraya kuciumnya tangan mulia beliau bolak balik tanpa sisa.
Aku tahu, kalian hanya pembaca, begitu tak faham bagaimana pucatnya
diri kala mengetahui di antara ruangan yang mulai terasa sempit itu terdapat
sosok lain selain aku dan Kiai. Dengan busana cantik dan rapih; dia adalah
Gadis. Denyut jantung mulai meronta hendak keluar dari tempatnya seraya memerahnya
kedua pipi. Kuyakin gadis yang duduk bersimpuh di hadapan Kiai itupun merasakan
hal yang sarupa.
“Jadi, ini lo Nabila yang kuceritakan pekan lalu itu, Syad.” Lanjut
Kiai selepas beberapa saat menanyakan berbagai hal sebagai pembahasan ringan
pembuka suasana. Sesaat dunia terasa kembali petang dan sempit. Sempit sekali.
“Sekarang, angkat wajah kalian berdua, sejenak saja lihat wajah satu sama lain”.
Imbuh Kiai sembari menghamparkan tangan kanannya pada pundakku yang lusuh dan
mulai goyah kehabisan percaya diri.
Tidak sedikitpun prediksiku melenceng. Dialah gadis itu, namnya Nabila. Sesuai dari
apa yang didawuhkan Kiai. Sesaat wajah eloknya mampu membius ingatanku akan
sosok yang belakangan ini kerap melukiskan bayang di balik kelambu tepat
menghadap posisi belajarku tiap setengah malam.
Sekilas senyumnya tak dibuat-buat. Membentuk lesung pipi merah
alami. Walau kutahu, senyumnya sedikit dipaksa. Alisnya hitam legam tanpa celah
memayungi kedua bola mata yang membola bersinar jujur diselimuti keindahan.
Hidungnya yang sedang nan berani itu, seakan menjadi magnet pemikat. Kulanjut
dengan kedua bibir yang merah alami dan manis, tampak begitu bersih dan polos
menghiasai wajah merona. Bila kau tahu Annelies dalam kisah Bumi Manusia,
barangkali bibirnya sedikit lebih unggul dalam hiasan kecantikan yang alami.
Dan wajah tanpa sentuhanmake up menggambarkan mutiara dalam cangkang
kerang. Jauh dari tangan manusia jahat.
Dengan sekali tatap indahnya; Nabila, aku telah masuk ke dalam
dunia yang kau sebut dengan “Jatuh Hati”. Aku tertarik dan tak ada satupun rasa
ingin menyangkal kekurangan yang sejauh ini tak kutemui. Maaf, rasa ini jujur
lahir dari jiwanya. Namun di sisi lain juga ada hati yang berupaya meniup cinta
jauh dari pintu masuknya.Berupaya mengingatkan sebuah hal dalam hidup;
kesetiaan.
Kusudahi keindahan lamunan sesaat ini bersamaan dengan dawuh Kiai;
“Nabil, ini Irsyad. Santri yang hendak aku jodohkan denganmu. Dia rajin dan
istiqamah menelaah saripati ilmu di pendopo lama. Aku hafal betul. Kaupun
kupilih sebab memiliki aktivitas serupa. Aku merasa kalian berdua memiliki
kecocokan yang kutemui dalam mimpi Istikharah. Semoga kalian berdua ditakdir
berjodoh”.
Antara tangis bersalah dan penyesalan, sebentar kuarahkan telapak
tangan kanan menggapai dada tepat denyut nadi itu semakin mengguncang. Lalu
dengan sergukan sekali nafas, kuberanikan diri yang rapuh ini menengahi bahasan
indah dalam ruang yang semakin terasa menyempit.
“Abdi haturkan permohonan maaf Kiai, orang tua Abdi telah sebulan
lalu meminangkan Abdi seorang gadis. Mohon maaf Kiai, Abdi.....”. Bersambung.
0 comments: