MEMBACA SEJARAH
DARI AMANAH
Oleh: Mukhlis Akmal Hanafi (M.A.H)
Resensi
AMANAH Media Komunikasi Informasi
Judul
Masa Depan Ummat Ditangan Pemuda
Penerbit
Pondok Pesantren Raudlatul Ulum 1
Tahun
28 Oktober 1928 – 1986
Tebal
27 Halaman
Mungkin beberapa dari alumni atau santri masih belum menyadari
beberapa majalah pondok pesantren yang saat ini masih tersimpan rapi dilemari
perpustakaan. Majalah AMANAH Media Komunikasi Informasi awal diterbitkan
pada tahun 1928 sampai dengan 1986. Masa depan ummat ditangan pemuda
sebagai sampul buku, diawali dengan tulisan yang berjudul Da’wah dan
perubahan Sosio Kultural. Meski beberapa dari kalangan santri akan cukup
kesulitan memahami teks yang disampaikan
dalam buku, akibat perputaran zaman yang memaksa para pembaca harus mengatuhi
situasi perkembangan pada masa itu, setidaknya ada beberapa poin penting yang mestinya
diketahui bersama, dan harusnya memicu adrenalin para pembaca.
Salah satunya perihal Pesantren dimasa dulu khususnya tahun 80-an.
Dalam bukunya dijelaskan bahwa pesantren kemarin, kini dan esok adalah yang
harus diperhatikan dalam-dalam. Bagaimana tidak, pesantren yang dulunya
terkenal sebagai lembaga kolot kontroversial, kini harus berkompetisi dan bersaing
baik dibidang pendidikan maupun hal yang berkaitan dengan moral. Dalam bukunya
juga disebutkan oleh salah satu Pimpinan Redaksi pemred Hanafi M.
Khalil, bahwa pesantren Pada awal berdirinya tak ubahnya hanya menjadi
padepokan-padopakan kecil di pedalaman, yang dimaksudkan sebagai benteng
terakhir dari sebuah serangan sang bule (belanda).
AMANAH dengan tema masa depan ummat ditangan pemuda adalah bagian
pertama dari dua bagian Amanah yang tersisa, buku ini secara seluruh
menjelaskan dunia pendidkan dan islam, lebih-lebih pesantren yang beraliran Ahlussunnah wal Jama'ah dan Nahdlatul ulama.
Tokoh utama dalam penerbitan AMANAH edisi 80-an ini salah satunya
Kh Yahya Syabrawi pengasuh utama sekaligus sebagai pelindung, atau yang lebih
kita kenal sekarang dengan sebutan penanggung jawab, ditemani oleh Drs. HM.
Subairi. Drs. HA. Mursyid Alifi dan Kh. Khozin Yahya sebagai penasehat.
***
Membaca AMANAH mengajak kita kepada tabir masa lalu, mengajak para
pembaca untuk mengenal lebih dekat dengan sejarah yang sudah terjadi
sebelumnya, hingga bukan suatu hal yang mudah jika dalam satu kesempatan
pembaca tidak mampu memahami teks yang disampaikan. Pembaca juga dituntut mencari
refrensi buku yang lainnya, sebagai motivasi mengatahui historis yang telah terjadi
lama sebelum kita dilahirkan.
Jika kita lebih teliti dengan ulasan yang diberikan oleh buku AMANAH
sendiri, kita akan sering mendengarkan berbagai macam istilah yang kemungkinan
besarnya akan menghadapi kesulitan bagi para pembaca sendiri, salah satunya Repelita.
Singkatan dari Repelita sendiri adalah
Rencana pembangunan lima tahun, yang kemudain akan menentukan
pemerintahan ke jalur yang lebih baik, dan menjadi arah yang harus dilakukan
oleh pemerintahan itu sendiri.
Repelita sendiri hadir pada tahun yang berbeda-beda, dimana Repelita jilid I hadir pada tahun (1969–1974) bertujuan memenuhi kebutuhan
dasar dan infrastruktur dengan penekanan pada bidang pertanian. Repelita jilid
II hadir pada tahun (1974–1979) bertujuan meningkatkan pembangunan di
pulau-pulau selain Jawa, Bali dan Madura, di antaranya
melalui transmigrasi. Repelita jilid III
hadir pada tahun (1979 sampai 1984) menekankan bidang industri padat karya
untuk meningkatkan ekspor. Repelita jilid IV (1984–1989) bertujuan menciptakan
lapangan kerja baru dan industri. Repelita jilid V (1989–1994) menekankan
bidang transportasi, komunikasi dan pendidikan.
Tentu dengan adanya ini kita akan lebih mengurangi beban pikiran yang masih
menjanggal. Namun kita juga tidak bisa ambil kesimpulan bahwa repelita akan
berjalan sebagaimana mestinya. Buktinya dalam
buku AMANAH sendiri juga tak segan mengkritik habis-habisan perihal repelita rencana
pembangunan lima tahun, dimana dalam hal ini pada masa Presiden Soeharto,
disini agama khusunya Islam memiliki tugas yang sangat sentral dan krusial.
Islam harus turut andil dalam menjalankan tugas pemerintahan dengan beberapa pertimbangan.
Ya, islam harus berada di garda
terdepan, sebagai lokomotif ganda di pangkal dalam rangkaian pembangunan
bertaraf Nasional itu. Dalam bukunya juga menjelaskan beberapa siasat da’wah
yang harus dicanagkan oleh para lembaga pendidikan khususnya para tokoh atau
kyai yang punya pendidikan, tak terkecuali lembaga pesantren.
Seperti yang sudah kita kenal sekarang, janji merupakan hal yang wajar
disampaikan dalam satu dekade atau masa-masa pemilihan, untuk menyakinkan
masyarakat dalam menentukan pilihan. Kita juga sering mendengar beberapa siasat
pemerintah dalam kelangsungan lima tahun kedepan, dan tak sering juga
masyarakat memberikan kritik sosial melalui tulisan atau semacamnya.
“Repelita
yang sudah dilancangkan pemerintahan itu telah menuju ke tahap industrialisai,
sementara rasio man-power-nya belum memadai sekali. Sehinga kemungkinan
besarnya menimbulkan beberapa ledakan besar yang mengakibatnya masyarakat
sekitar kehilangan pekerjaan, atau bahkan kehilangan komplek yang sudah ia
tiduri sebelumnya.”
Lafad diatas jelas memberikan kesan yang sangat emosional, selain mengajak
para pembaca untuk membuka cakrawala masa lalu, kita juga diajak untuk tetap
tinggal disana sebagai bukti sejarah, atau sebagai pembaca saja. Kini kita bisa
tahu bahwa peradaban islam pada masa 80-an menghadapi tantangan yang sangat
besar, dan bukan hal mudah untuk dipecahkan, sementara pesantren dipaksa harus
jadi alternatif terakhir dari sebuah jawaban yang masih mencekal di masyarakat.
Islam juga harus mempertimbangkan beberapa siasat yang kemungkinan
besar menghadapi kecendrungan-kecendrungan yang bermacam-macam, menurut
Koentojiyo salah satu dosen Fak. Sastra dan Sejarah Universitas Gajah Mada
dalam bukunya juga mengungkapkan, bahwa “da’wah dapat bersikap positif dalam
arti menguatkan kecendrungan itu, disamping itu juga dapat besifat negatif dalam arti menolak atau bersikap historis
dalam arti berada di atas kejadian-kejadian sejarah.
Dengan ini kita bisa tau betapa besarnya peran islam dalam
menjalani tirani totaliter yang penuh lika-liku itu. Sehinga apa-apa yang
terjadi kedepan bisa juga tidak sesuai dengan apa yang diramalkan. Sehingga
pertimbangan yang dimaksudkan bisa juga gagal, bisa juga berhasil dalam arti
mengikuti apa yang diharapkan oleh pemertintahan.
Membebaskan individu dan masyarakat dari sistem kehidupan yang
dholim (tirani totaliter) menuju kehidupan yang adil (demokratis) tentu ini yang diharapkan oleh islam dan masyarakat. Bebas dari
kengkaman pemerintahan.
***
Dalam buku
Amanah juga mempertimbangkan beberapa alasan terkait NU organisasi islam Nahdlatul Ulama Dalam
menyikapi Pemilu di tahun 1987. Dimana pada waktu itu NU dengan tegas
membebaskan kaum Nahdliyin memilih sesuai hati nurani melalui kepentingan
masing-masing. Bertujuan demi kelangsungan hidup atau kesempatan memilih dengan
bebas.
Demikianlah alasan majalah ini diterbitkan, dengan alasan “semua manusia bebas berekspresi, bebas bersikap sesuai yang dihadapkan oleh dirinya sendiri, dan bebas dari ancaman yang beragam dari pemerintahan itu sendiri.
Majalah Amanah ditutup dengan media tanya jawab, dimana media ini
memuat pertanyaan finansial atau permasalahan global yang lalu di musyawarahkan
dalam bingkai bahtsul masail. Sementara penempatan bahtsul masail sendiri
bertempat di PPAI Darun Najah Karang-ploso Malang dengan dihadiri langsung oleh
tokoh ganjaran tak terkecuali Drs. H Mursyid Alifi sebagai ketua sidang.
0 comments: