A Nga Nga
Oleh: Abilu Royhan
Siapa yang tidak tahu kitab yang membeberkan tentang etika belajar.
Yang sangat masyhur di kalangan pondok pesantren. Yakni kitab ta’limul
muta’allim atau yang akrab dengan sebutan kitab taklim mutaklim (lidah jowo
dan medureh). Kitab yang dikarang oleh syekh Azzarnuji karena beliau
melihat banyak dari pencari ilmu yang tidak dapat meraih ilmu yang dia
cita-citakan. Atau dia telah meraih ilmu itu, tapi ilmu itu tidak bermanfaat
baginya kecuali hanya sedikit. Itu karena mereka salah atau bahkan tidak tahu
tentang etika mencari ilmu. Dalam kitab ini ada sebuah
keterangan tentang etika berguru atau mencari guru. Disitu diterangkan bahwa
sebaiknya murid itu mencari guru yang lebih alim, lebih wira’i, lebih
tua darinya dan lain sebagainya.
Siapa yang tidak tahu kitab yang menerangkan tentang tasawuf. Kitab
yang sering dikaji dimana-mana. Yakni kitab bidayatul hidayah karangan
Imam Abu Hamid Al-Ghazali atau yang masyhur dengan nama Imam Al-Ghazali. Kitab
yang banyak menerangkan tentang ilmu tata krama dan juga anjuran untuk
meninggalkan maksiat-maksiat yang dilakukan oleh seluruh anggota tubuh, baik
dhohir atau batin. Di sana teman akan menemukan keterangan tentang macam-macam
maksiat yang dilakukan oleh anggota tubuh seperti mata, mulut, telinga, dan
yang lainnya termasuk hati. Termasuk maksiat hatiadalah al-kibr yakni
merasa lebih baik dari orang lain dan menganggap yang lain itu lebih buruk
darinya.
Dan satu lagi, siapa yang tidak tahu orang yang satu ini. Kelahiran
Malang 7 oktober tahun 1994, yakni Ustadz Rif”an Fathoni. Salah satu asatidz
Pondok Pesantren Raudlatul Ulum satu (PPRU 1) putra. Beliau mulai menimba ilmu
di PPRU 1 ini pada tahun 2013, setelah beliau menimba ilmu di Pondok Pesantren
Raudlatut Thalibin di Ampel Gading sana, dekat dengan rumah beliau. Beliau mulai
nyantri di Pondok Pesantren Raudlatut thalibin sejak kelas 3 MI, tepatnya tahun
2003 sampai 2013, yang seterusnya beliau melanjutkan rihlahnya mondok di PPRU 1
ini. Maka jika dihitung-hitung sampai saat ini (2021), beliau kira-kira telah
mondok 18 tahun. Hebat bukan?Beliau adalah guru dari sang penulis sendiri.
Tepatnya guru ketika penulis duduk di karpet Isadarma (bukan ‘bangku Isadarma’,
karena sistem pondokan, selain itu Isadarma tidak punya bangku) kelas
dua dan tiga. Ketika itu yang diajarkan oleh beliau adalah dua kitab yang telah
disebutkan di atas. Kitab yang banyak memaparkan keterangan tingkah laku dalam mencari ilmu dan tingkah laku
sehari-hari.
Salah satu keterangan yang telah tertulis dalam paragraf kedua
diatas, yakni “termasuk maksiat hati adalah al-kibr yakni merasa lebih
baik dari orang lain dan menganggap yang lain itu lebih buruk darinya”.
Sebagian senior di pondok pesantren itu tidak mudah akrab dengan santri yang
junior. Itu mungkin di dalam hati mereka terdapat rasa al-kibr. Sehingga
mereka merasa tidak level berteman dengan santri junior. Atau mereka takut
kehilangan harga dirinya, karena berkumpul dengan santri yang lebih junior.
Tapi beliau tidak seperti mereka. Beliau bahkan hampir akrab dengan seluruh
santri. Beliau tidak takut diremehkan oleh santri yang lebih junior. “Kita
harus bisa mengambil hati mereka dulu, baru kita dapat mengatur mereka” karena
itu prinsip dari pengurus ketua bidang taklimiyah yang satu ini.
Adapun paragraf sebelumnya ada sebuah keterangan, yakni “etika
berguru atau mencari guru”. Penulis merasa tidak salah dalam memilih guru.
Karena disamping beliau mengajarkan ilmu secara lahiriyah, yakni dengan memberi
kajian dua kitab di atas kepada muridnya. Beliau juga mengajarkan muridnya
melalui perilaku beliau setiap harinya. Artinya beliau juga memberi nasehat
sikap, bukan hanya nasehat ucapan belaka. Itu dapat dilihat dari kebiasaannya
sehari-hari. Mulai dari pakaian yang tidak terlalu mewah. Seperti yang
dikatakan dalam kitab ta,lim muta’allim bahwa “pencari ilmu sebaiknya
tidak terlalu menyibukkan dirinya dengan urusan dunia”. Atau perilaku beliau
yang lain. Contoh, beliau mempunyai sifat tawakal yang bisa dikatakan cukup
tinggi. Itu bisa diketahui dalam keseharian penulis ketika bersama beliau.
Penulis pernah bertanya tentang seragam Isadarma yang belum dibayar. Beliau
hanya menjawab “tenang ae, iku opo jare emben-emben”. Setiap penulis
menanyakan suatu hal yang butuh sesuatu, sering beliau menjawab seperti itu. Tapi
disamping itu beliau bukan berarti hanya diam saja. Nggak. Beliau tetap
berusaha mencarikan jalan terbaik dalam setiap masalah yang dibincangkan dengan
penulis.
Termasuk etika dalam belajar adalah pencari ilmu sangat dianjurkan
untuk berkhidmah kepada guru atau yang biasanya disebut dengan ‘mengabdi’,
bukan hanya mengaji saja. Karena dengan mengabdi kepada guru merupakan jalan
untuk mendapat barokah guru. Dan itu telah banyak dilakukan oleh para Kyai dan Ulama
terdahulu, termasuk para Kyai dan Ulama Indonesia. Beliau pernah bercerita kepada
penulis, bahwasanya ayah beliau pernah memberi pesan kepada beliau sebelum
beliau berangkat mondok. Ayah beliau memberi pesan yang cukup sederhana tapi
penuh makna “leee... kamu tidak boleh boyong, sebelum kamu bisa menuangkan air
kedalam gelas”. Pesan ayahanda itu tidak di mengerti oleh beliau ketika ayahnya
berpesan saat itu. Tapi lambat laun, setelah beliau banyak menimba ilmu di
pondok pesantren yang pernah beliau singgahi. Akhirnya beliau mengerti pesan
dari sang ayah itu “jangan boyong, sebelum kamu mendapat barokah dari gurumu”
kata beliau. Beliau mengibaratkan ilmu itu sebagai air, adapun gelas itu adalah
barokahnya. “jadi... ketika seseorang telah mendapatkan ilmu tapi dia tidak
mempunyai barokah dari gurunya, maka ya... akan tumpah” begitulah lanjut ucapan
beliau. Sehingga beliau mempunyai sebuah kata mutiara‘A Nga Nga’ singkatan dari ‘ayo ngaji ayo ngabdi’. Mungkin
itu terinspirasi dari kata ayahanda beliau. Semoga kita dapat meneladani cerita
beliau diatas, sehingga kita dapat menerapkan kata mutiara beliau ‘A Nga Nga’. Kata itu
menganjurkan para pencari ilmu untuk tidak hanya mengaji saja tapi juga
mengabdi.
0 comments: