Desa Ganjaran disebut "Desa Santri" dilatari oleh jumlah lembaga pendidikan Islam, seperti pesantren dan madrasah, yang lebih bertumpuk ketimbang desa-desa lain di sekitar wilayah Gondanglegi. Bahkan tidak tanggung-tanggung, launching nama itu diresmikan oleh Bapak Sanusi, Wakil Bupati Malang beberapa tahun yang silam.
Label "Desa Santri" yang dilekatkan pada daerah Ganjaran itu, ternyata bukan sama sekali suci dari perilaku atau kegiatan yang berkonotasi menyimpang dari ajaran syariat. Justeru apa yang sering kali menjadi ujaran banyak orang, "limbah tak jauh dari mata air" benar-benar nyata di tempat yang menjadi lumbung kiai itu.
Selain disinyalir masih banyak anak bangsa yang belum berpendidikan layak, pedagang yang dikenal cenderung "nakal", kini di daerah ini pula mulai menggeliat "joget" yang dikemas dalam acara karnaval.
Gelagat apakah ini ? Rupanya desa yang konon didiami sekian jejeran orang-orang alim (bahkan sebagian allamah) dan ratusan "thalib al-ilm" dari berbagai daerah, tidak berbanding lurus dengan kelakuan yang sekarang ini tengah menggejala.
°°°
Agak miris mencermati perkembangan demikian ini. Betapa tidak, jangankan sikap tasawuf, seperti laku wara', zuhd, tawakul, sabr dan lainnya, performa lahir warga saja belum sepenuhnya mencerminkan kepribadian kesantrian.
Alih-alih terwujudnya masyarakat madani (civil society) yang penuh dengan kesantunan, sikap-sikap bernilai keislaman, perilaku berbudaya dan beradab dan cara bernalar ilmiah, memproklamirkan nama desa dengan sebutan "Desa Santri" masih belum disertai program jelas, terarah dan sistematis.
Sehingga absah jika ditarik sebuah tali simpul bahwa papan nama yang hanya tegak di pinggir jalan perbatasan desa Ganjaran-Putat Lor itu cuma sebatas plakat slogan tanpa memuat sejuta makna.
°°°
Mungkin sebagian kalangan berdalih bahwa acara massal yang mampu menyedot massa merupakan bagian dari strategi dakwah. Apalagi kegiatan karnival itu bertepatan dengan momentum islami, maka kesan yang di tangkap publik pasti nuansa napak tilas Wali Sanga.
Argumentasi ini tidak sepenuhnya salah, tetapi juga tidak seratus persen benar. Apabila dakwah yang dimaksud dimaknai sebagai pengenalan sebuah desa yang dihuni sekitar 2000 santri, bisa jadi alasan tersebut masih rasional. Tetapi jika argumentasi dakwah itu ditafsiri sebagai promosi lembaga pendidikan Islam di desa Ganjaran, kayaknya dalih itu kurang mengena. Sebab hingga saat inipun belum ada fakta yang membuktikan bahwa ketertarikan orang tua pada pesantren atau madrasah dimotivasi oleh gebyar demonstratif di jalanan.
°°°
Menemukan fenomena semacam ini, kita memang perlu berhati-hati dan cermat mengambil sikap. Pada satu sisi, terkadang kegiatan ini melampaui batas-batas syar'i. Tetapi pada sisi lain, sebagian besar masyarakat sudah terlanjur terbuai oleh gegap gempita aksi gratis itu. Oleh karenanya, para kiai yang berposisi sebagai corong agama dengan misi amar makruf nahi mungkar serba salah menyikapi perkembangan ini.
Makanya, langkah yang paling bijak adalah dengan menggunakan beberapa pendekatan, antara lain: Pertama, memenej bagaimana caranya supaya kegiatan seperti ini tetap berlangsung, namun konten dan nuansa islami betul-betul dapat mewarnai. Kedua, perlu ada kolaborasi berkelanjutan antara tokoh agama dan pemerintah setempat agar kegiatan-kegiatan semacam ini benar-benar terwadahi sehingga memungkinkan menjadi bagian dari tawaran destinasi "Desa Santri" yang bernafaskan keislaman.
°°°
Semoga berkahGus Mad
Ketua Yayasan Kiai Haji Yahya Syabrowi PPRU I Ganjaran Gondanglegi Malang
Namun, telah banyak daerah-daerah yang tokoh masyaraktnya dilahirkan dari Pendidikan karakter sejumlah Kiai di Desa tersebut
BalasHapus