Oleh : A. Imam Fathoni
Mula-mula Islam berasal dari Nabi sang pembawa risalah yang
berkebangsaan Arab. Sosok pemimpin
masyarakat Muslim pertama itu bernama Nabi Muhammad. Kemudian diteruskan oleh empat pengganti
(khalifah) yang meneruskan kepemimpinanya secara berturut-turut. Pergolakan
hebat akhirnya menuntut Islam dipimpin dengan sistem kerajaan (monarkhi).
Islam menyebar
luas ke seluruh dunia. Perkembangan-perkembangan pun terjadi, bahkan ada sekian
negara atau kerajaan yang mengklaim dirinya sebagai negara atau kerajaan Islam.
Dengan ideologi politik yang berbeda-beda
dan bahkan saling bertentangan, mereka menyatakan diri sebagai “ideologi Islam”. Jika di bidang
politik saja sudah berbeda-beda, apa lagi di bidang lain, seperti misalnya
budaya, atau yang lainya?
Image by Pixabay |
Islam awalnya
hanya berbentuk seruan atau ajakan, kemudian berkembang menjadi fikih yang dimasukkan
ke dalam beberapa buah mazhab. Masing masing dari mazhab tersebut mempunyai
metode dan pemikiran tersendiri.
Terkemudian lagi
muncullah sederet pembaruan Islam, mulai dari yang radikal, setengah radikal,
dan ada pula yang tidak radikal sama sekali. Pembaruan demi pembaruan pun
dilancarkan. Mereka mengajukan klaim memperbaiki fikih dan menegakkan agama
yang sebenarnya, yang biasa mereka sebut dengan “syariat,” meskipun penganut fikih
dari madzhab lain pun menamai anutan mereka sebagai “syariat.”
Gerakan-gerakan
itulah yang menuntut perubahan Islam di berbagai negara, terutama di bidang
kebudayaan. Seperti yang terjadi di negeri kita ini, masjid yang beratap
genteng susun tiga yang sarat dengan simbolisasi lokal dituntut untuk dikubahkan.
Gending Jawa yang berisi ajakan untuk masuk Islam diganti dengan qosidah yang
berbahasa Arab. Bahkan ikat kepala lokal atau udeng sudah digeser oleh
sorban atau imamah yang kesemuanya itu agar Islam bisa seragam.
Tak hanya pada
bidang budaya, cara pengambilan hukum pun harus diseragamkan dan diformalkan,
yakni harus ada pengambilan formalnya yaitu Alquran dan hadis. Tidak seperti
dulu yang cukup dengan apa kata kyai.
Kalau memang
seperti ini, berarti masyarakat muslim di negeri ini, khususnya, dan di Negara Negara lain
harus kehilangan kebudayaannya. ketika masyarakat Hindu menemukan kekhusyukan
rohaninya melalui gending tradisional Bali, apakah kaum muslimin masih “berqosidahan
Arab” dan melupakan “pujian” berbahasa lokal tiap akan melakukan
sembahyang?
Dan juga mengapa
harus menggunakan kata salat jika kata “sembahyang” juga benar? Dan
mengapa harus di musallakan padahal dahulu hanya cukup dengan kata langgar?
Dahulu tuan guru atau kiai, sekarang ustaz dan syaikh baru berwibawa. Kalau
memang demikian berarti Islam telah mencabut kebudayaan dari berbagai dunia.
Yang mereka
lakukan seharusnya Islamisasi, bukan Arabisasi. Untuk menjadi orang Islam itu
tidak harus menjadi orang Arab atau seperti orang Arab. Apa salahnnya jika ada
istilah Islam tanah Jawa ?
0 comments: