oleh: Rian Hidayatullah
Ganjaran itulah salah satu nama desa di daerah Malang yang
mendapat julukan desa santri, karena mayoritas di daerah itu banyak pemuda-pemudi
yang menimba ilmu di beberapa pondok pesantren di sana. Mereka datang dari
berbagai penjuru kota di Indonesia, seperti Pontianak, Madura, Lumajang,
Sulawesi, tak lupa pula dari Malang sendiri. Tak ayal, kadang-kadang perbedaan
itu membuat perselisihan antara mereka timbul.
Desa yang berjulukan Desa Santri bukanlah Ganjaran saja, tapi Singosari
juga pernah dinobatkan sama seperti Ganjaran. Pesantren demi pesantren didirikan
dan minat para orang tua untuk memondokkan putra-putri mereka semakin meningkat.
Alasannya mungkin agar anak-anak mereka tidak terlalu bebas di perkembangan
zaman yang sangat fana ini.
Pondok pesantren di Malang tidaklah bercorak salaf saja, tapi
pondok modern juga telah terwujud, seperti Ar-Rifai dan An-Nur. Namun meski dikatakan
pondok modern, mereka tak melupakan apa yang ada di pondok pesantren salaf, yakni
kajian kitab kuning.
Suasana di sana memang agak sedikit
berbeda dengan pondok salaf, mungkin dari fasilitasnya yang lengkap dan
terjamin.
Kalau desa sudah dijuluki desa santri, maka lembaga-lembaga di desa
itu juga berkultur
santri, yakni sekolahannya yang memisahkan antara laki-laki dan perempuan. Terasa
hampa ketika dalam suatu kelas gak ada lawan jenis. Tapi apa mau dikata,
kenyataannnya memang seperti itu, sehingga kadang membuat siswa-siswi geregetan
ketika papasan di pinggir jalan. Pandangan mungkin ke depan, tapi lirikan mata
menyebar ke kiri dan ke kanan.
Tanggal 22 Oktober ditetapkan sebagai Hari Santri. Berbagai
macam acara ditampilkan di hari itu, seperti upacara, istighasah, salawatan,
dan lain-lain. Sebagian santri berkumpul untuk menghadirinya. Dengan sumringah
mereka berjalan menuju acara itu karena setahun sekali, katanya. Jarang sekali
mereka bisa keluar dari pondoknya kalau tidak ada keperluan. Apalagi santri
putri, mereka lebih sulit untuk keluar kompleks pesantren.
Keberadaan santri-santri itu juga membawa rejeki bagi orang-orang
sekitarnya dengan membuka usaha rumah makan. Toko mereka bisa mendapat rejeki lebih
banyak dari biasanya. Para santri pun merasa sangat nyaman dengan hal itu,
membuat mereka leluasa mendapatkan apa yang mereka butuhkan.
Cukup 4000 rupiah, santri di sana bisa mendapat nasi dengan lauk-pauk
ala kadarnya. Ya kalau ingin lauk lebih enak lagi tinggal merogoh gocek agak
dalam, tapi tetap harganya tidak terlalu mahal dibanding warung-warung di luar
desa santri sana. Para penjual mengerti dengan keadaan santri itu, bagaimana kondisi
keuangan mereka. Meskipun kirimannya banyak, ada saja yang membuat kantong
meringan tanpa terasa.
Desa yang dipenuhi pemuda-pemudi berpeci dan berkerudung tidaklah
selamanya tercium baik bagi masyarakat di sana. Terkadang pertemuan antara dua
insan di tempat sunyi itu yang membuat bau harum santri berubah menjadi bau
busuk sebab perbuatan tidak bermoral itu. Sebusuk bangkai binatang yang sudah lama mati.
Ketika rintik hujan mulai mengguyur desa kemudian
membasahi songkok atau kerudung yang tidak dilindungi dengan payung pada waktu
berangkat maupun pulang dari madrasah mereka, itulah sekilas dari kesederhanaan yang dimiliki santri. Kesederhanaan
itu tidaklah menjadi penyurut semangatnya, tapi sebaliknya menjadi penyemamgat
mereka menimba ilmu.
Desiran angin malam itu adalah sebuah suasana sunyi yang menandakan
para santri sudah berada di balik jeruji besi pondok mereka. Entah apa yang dikejakan
para santri ketika itu, tapi biasanya mereka ada yang belajar, ada yang tidur,
ada yang begadang sampai larut malam dengan dibarengi secangkir kopi yang sudah
dingin.[]
0 comments: