Hidup-Mati Sebuah Amal
Sebagaimana diketahui,
manusia diciptakan untuk melakukan pengabdian kepada penciptanya (Q.S. Adz-Dzaariyat
: 56). Ritual ini kalau dilihat dari sudut pandang syariat secara garis besar
dapat disimpulkan menjadi dua kategori, yaitu: melaksanakan semua perintah
agama dan menghindar dari melakukan hal-hal yang dilarang oleh agama (imtiṣāl
al-awāmir wa ijtināb an-nawāhī). Dua kategori inilah yang dalam terminologi
agama Islam dikenal dengan ibadah, sebagai tugas utama manusia sebagai hamba.
Secara
komprehensif, dalam melakukan kategori tersebut di atas akan tercapai jika
dilaksanakan secara menyeluruh. keseimbangan zahir dan batin diperlukan di sini.
Zahir merupakan kinerja anggota fisik seperti tangan, kaki, perut. Dalam
syariat Islam, syarat dan rukun merupakan ladang untuk menggerakkan anggota
melakukan ibadah. Sedangkan batin merupakan kinerja hati di setiap gerakan
anggota fisik di setiap ibadah. Kedua unsur ini harus terus berlangsung secara
terus menerus di setiap melakukan perintah dan atau meninggalkan larangan.
Melakukan
ibadah oleh ‘batin’, tanpa perwujudan tindakan secara fisik tidak ada artinya.
Semisal berniat dalam hati tanpa melakukan rukun salat, berkeinginan bersedekah
tanpa ada tindakan berbagi kepada sesama, secara syariat tidak dapat dikatakan
sudah salat dan sedekah. Sedangkan gerak anggota fisik dalam gerakan salat
tanpa ada gerak batin (contoh: ketaatan pada Zat Yang Maha Mencipta) yang
menyertai, lebih patut dikatakatan—walaupun secara syariat salatnya sudah sah—telah
melakukan ‘gerakan salat’.
Ibarat sebuah
rangkaian bentuk tangan, kaki, kepala, badan dan lain-lain, tanpa pernah ada
ruh di dalamnya, rangkaian tersebut hanyalah sebuah ‘kerangka’, kurang lebih
sempurna dari patung, boneka dan lainnya. Di sinilah urgensi keseimbangan
antara zahir-batin, fisik-ruh .
Bagi seorang Muslim
yang berkeyakinan dalam jiwanya bahwa ibadah yang dilakukan merupakan sebuah
ketaatan kepada Zat Yang Maha Agung, pengabdian yang diperuntukkan kepada Zat
yang memiliki kekuasaan tidak terjangkau dan tidak terbatas, ibadah merupakan
hal yang lebih serius. Kesinambungan anggota zahir dan batin lebih diperlukan
di dalamnya.
Sebab itu, perbuatan
ibadah yang dilakukan dengan jerih payah—menanggalkan sifat malas, kepentingan-kepentingan
dan lain-lain—akan terbuang sia-sia dan tidak bernilai, jika kehadiran perbuatan
tersebut tanpa disertai rūḥ (substansi)
dari amal ibadah tersebut. Lantas apakah sebenarnya ruh dari perbuatan itu?
Untuk menjawab pertanyaan itu mari kita renungkan makna hadis Nabi Muhammad SAW
berikut ini:
((لا يقبل الله من الاْعمال الا ما كان خالصا له وابتغى بها وجهه))
Dari hadis di atas, penulis menyimpulkan, sebanyak apapun aktivitas yang
bermuatan nilai positif (ibadah) yang dilakukan, baik yang sifatnya vertikal
kepada pencipta maupun horisontal kepada sesama ciptaan (mahluk) yang
kemudian penulis sebut sebagai “amal”, akan menjadi tidak bernilai jika dalam
pelaksanaannya tidak terkandung rasa ikhlas dalam hati pelakunya (hamba). Salah satu tokoh sufi, Ibn Athaillah As-Sakandary telah mengatakan bahwa ruh setiap amal adalah Ikhlas (Al-Hikam).
Tanpa rasa sepenuh hati untuk mengihklaskan diri, maka pamrihlah yang
akan datang berduyun-duyun. Dan timbal-baliklah yang diinginkan. Beramal demi
datangnya balasan—minimal sebuah pujian—akan layu dan tidak akan pernah muncul
kepermukaan seandainya balasan yang diinginkan tidak kunjung didapatkan. Kemungkinan
besar kekecewaan dan merasa tersia-sia akan membuah dari amal yang berakar dari
suatu harapan akan balasan yang menguntungkan, jika amal tersebut tumbuh tanpa
adanya balasan. Pertanyaanya, apakah hanya ini—amal berujung kecewa—yang dapat dipersembahkan
pada Allah?[]
By: Yusroful kholili
0 comments: