Pengertian
Puisi
Apakah
puisi itu? Pertanyaan sederhana itu ternyata tidaklah mudah menjawabnya.
Batasan mengenai puisi sulit untuk diberikan. Pada bagian awal ini dicoba
mencari batasan puisi melalui puisi para penyair, perhatikan beberapa puisi
berikut ini.
SAJAK
O,
bukannya dalam kata yang rancak
kata
yang pelik kebagusan sajak.
O,
pujangga, buang segala kata,
yang
akan cuma mempermainkan mata,
dan
hanya dibaca selintas lalu,
karena
tak keluar dari sukmamu.
Seperti
matahari mencintai bumi,
memberi
sinar selama-lamanya,
tidak
meminta sesuatu kembali,
harus
cintamu senantiasa.
(Sanusi Pane)
SAJAK
Jari-jari
dalam diri
bagai
akar yang pernah berhenti
menggali
bumi, makin dalam
makin
dalam di dalam kelam
jari-jari
yang menulis kata
makin
keras makin keras
bagai
pisau tajam
mengoyak-ngoyak
badan
mimpi
dalam urat-urat diri
mengalir
berdebur-debur
bagai
ombak, bagai gelombang
tak
tahu pulang
(Wing Karjo)
PUISI
24
Puisi:
bukanlah persinggahan
bagi
petualang yang suntuk mengarungi
bukit-bukit
rumah
abadi ia
tempat
penyair mencuci jiwa
yang
kerontang oleh kemarau panjang
(Tengsoe Tjahjono, 2003)
PUISI
Bukanlah
kumpulan kata
kata
yang menarik dan
memikat
penglihatan,
bukanlah
kalimat-kalimat yang
sulit
dipahami dan dimengerti
tapi
sebuah curahan hati curahan jiwa
curahan
pikiran dan imajinasi
dari
hasil pengalaman pribadi
dalam
hidup ini
dan
alam mimpi.
(A.D)
Ada
banyak penyair menulis puisi atau sajak mengenai puisi atau sajak itu sendiri.
Tanpa sadar mereka mengungkapkan apa itu puisi bagi dirinya sendiri sebagai
penyair.
Dalam
puisi yang berjudul Sajak Sanusi Pane menunjukkan bahwa kebagusan
puisi atau sajak bukan terletak pada keindahan bahasanya. Kata-kata indah hanya
akan mempermainkan pembacanya jika tidak sungguh-sungguh keluar dari jiwa
penyair.
Sajak
bagi Wing Karjo lahir dari jari-jari penyair yang menggali secara mendalam
persoalan yang muncul di bumi dan semesta ini. Kesadaran untuk menulis bagi
penyair bagai panggilan yang terus-menerus membutuhkan n jawaban.
Namun,
di sisi lain Tensoe Tjahjono memandang puisi bukan sebagai tempat pelarian bagi
orang yang gagal atau letih menjalani hidupnya. Puisi baginya adalah rumah
abadi tempat penyair mencuci jiwanya.
Sedangkan
menurut A.D puisi adalah
sebuah curahan hati, jiwa, pikiran dan imajinasi penyair berdasarkan pengalamannya
dalam kehidupan nyata maupun alam mimpi. Bukan sekumpulan kata ataupun kalimat
yang diperindah dan dipercantik sehingga memikat penglihatan pembaca.
Penyair-penyair
tersebut terlihat tidak mempersoalkan bagaimana bentuk puisi itu seharusnya.
Yang mereka kemukakan adalah bagaimana seharusnya kandungan dan amanat sebuah
puisi. Kata-kata indah yang tidak keluar dari kejujuran jiwa hanya akan
menyesatkan pembaca.
Secara
etimologis kata puisi berasal dari bahasa Yunani poeima yang berarti
membuat, poeisis yang berarti pembuatan, atau poeities yang
berarti pembuat, pembangun atau pembentuk. Di Inggris puisi itu disebut poem
atau poetry yang tidak jauh berbeda dengan to make atau to create, sehingga pernah
lama sekali di Inggris puisi itu disebut maker.
Puisi
diartikan pembuat, pembangun, atau pembentuk karena pada dasarnya menulis suatu
puisi adalah membuat, mambangun atau membentuk sebuah dunia baru secara lahir
maupun batin.
Disamping itu puisi disusun dalam alur irama. Irama
dibangun dengan mengulang bunyi-bunyi yang sama, mirip, atau homorgan (sedaerah
artikulasi). Irama menjadi salah satu pembentuk efek estetik dan artistik
sebuah puisi.
Sedangkan secara tipografis (ukiran atau lukisan bentuk)
puisi juga berbeda dari prosa dan drama. Ungkapan dalam puisi secara tipografis
dibentuk dengan rupa larik dan bait. Lirik dan bait menjadi ciri visual puisi.
Prosa pada umumnya dibentuk dengan pola paragraf dan bab-bab. Naskah drama akan
menonjolkan dialog dan narasi atau petunjuk laku dalam ekspresi tulis yang
berbeda.
Yang tidak kalah pentingnya ialah penggunaan bahasa dalam
puisi. Bahasa puisi berbeda dengan wacana yang lain karena dipengarui dua hal
penting, yaitu kepadatan ekspresi dalam puisi dan koridor estetika. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa puisi adalah ungkapan pikir dan rasa yang
berirama, dalam bentuk larik dan bait dengan memakai bahasa yang indah dalam
koridor estetik.
MASALAH
BATASAN PUISI
Karya
sastra selalu erkembang seiiring dengan dinamika ekspresi pengarang. Pngarang,
termasuk juga penyair, selalu berusaha mencari bentuk ungkap baru. Rendra
tumbuh dari si burung merak karena puisi-puisinya di era kelahirannya sebagai
penyair begitu ditaburi kata-kata bernuansakan alam yang indah, menjadi Burung Elang ketika puisi-puisinya
menjadi pamlet dan kritik sosial.
Puisi
Sutardji Cazoum Bachri berkembang dari puisi neomantra ke sufi. Akibatnya
batasan-batasan mengenai puisi justru tidak bisa mewadahi gerak tubuh organisme
yng bernama puisi itu. Puisi-puisi Sapardi Djoko Damono cenderung naratif,
sehingga terkesan sebagai cerita pendek yang pendek.
Perhatikan
kutipan berikut:
CATATAN
MASA KECIL, 2
Ia mengambil jalan pintas dan jarum-jarum rumput berguguran oleh langkah-langkahnya.
Langit belum berubah juga. Ia membayangkan rahang-rahang laut dn rhang-rahang
bunga lalu berfikir apakah burung yang tersentak dari ranting lantaranitu
pernah menyaksikan rahang-rahang laut dan rahang-rahang bunga terkam-menerkam.
Langit belum berubah juga. Angin begitu ringan dan bisa meluncur kemana pun dan
bisa menggoda laut sehabis menggoda bunga tetapi ia bukan angin dan ia kesal
lalu menyepak sebutir kerikil. Ada yang
terpekik di balik semak. Ia tak mendengarnya.
Ada yang terpekik di balik semak dan gemanya menyentih sekuntum
bunga lalu tersangkut pada angin dan terbawa sampai ke laut tetapi ia tak
mendengarnya dan ia membayangkan rahang-rahang langit kalau hari hampir hujan.
Ia sampai di tanggul sungai tetapi mereka yang berjanji menemuinya di sini
ternyata tak ada. Langit sudah berubah. Ia mamperhatikan ekor srigunting yang
senantiasa bergerak dan mereka yang berjanji mengajaknya keseberang sungai
belum juga tiba dan ia menyaksikan butir-butir hujan mulai jatuh ke air dan ia
memperhatikan lingkaran-lingkaran itu melebar dan ia membayangkan mereka
tiba-tiba mengepungnya dan melemparkanya ke air.
Ada yang memperhatikannya dari seberang sungai tetapi ia tidak
melihatnya. Ada.
(Sapardi Djoko
Damono)
Jika
kita perhatika sekilas puisi Sapardi Djoko Damono itu paerwajahan proslah yang
tampak. Bahkan, jika kita simak perlhan puisi itu nyaris seperti cerpn-cerpen
Danarto. Misalnya penggalan cerpen Mereka Toh Tidak Mungkin Menjaring
Malaikat berikut ini:
Akulah Jibril, mlaikat yang suka membagi-bagikan wahyu. Aku suka
berjalan di antara pepohonan, jika angin mendesir: itulah aku; jika pohon
bergoyang: itulah aku; yang sarat beban wahyu, yang dipercayakan tuhan ke
pundakku. Sering wahyu itu aku naikkan seperti layang-layang, sampai jauh
tinggi di awan, dengan seutas benang yang menghubungkannya; sementara itu
langkahku melentur-lentur meayang di antara batang pisag dan mangga.
Akulah Jibril, malaikat yang telah membagi-bagikan wahyu kepada
nabi Nuh, nabi Ibrahim, nabi Musa, nabi Isa, nabi Muhammad, dan kepada
nabi-nabi yang lain, yang kedatanganku ditandai dengan gemerisiknya suara angin
di antara pepohonan atau padang pasir.
............
(Danarto, 1982)
Membandingkan
kedua karya sastra ini akan kesulitan membedakan mana puisi dan mana cerpen.
Cerpen-cerpen Danarto juga terkesan padat dan penuh irama. Jadi, pada era
penciptaan karya sastra pada saat ini, susah dicari batas-batas tengah antara
genre sastra yang satu dengan genre sastra yang lain.
Danarto
bahkan menulis puisi seperti melukis. Perhatikan puisinya berikut ini:
(Danarto)
Mengamati puisi Danarto ini, tentu tidak mudah kita menerimanya
sebagai puisi. Tetapi, saat orang berbincang bahasa adalah simbol, garis-garis
itupun bisa menjadi simbol. Bahasa bukan hanya verbal tetapi juga nonverbal.
Terlepas dari persoalan kualitas (karena kualitas dalam seni itu
selalu amat subjektif) ragam puisi dalam khazanh sastra Indonesia itu amat
beragam. Karena itu sebenarnya batasan puisi yang berlaku umum tidak mungkin
bisa kita wujudkan. Batasan itu akan beragam pula bergantung pada puisi yang
sedang kita hadapi.
Batasan
puisi yang amat ketat justru akan bertentangan dengan sifat seni yang selalu
berkembang. Dan sifat penyair yang rindu kemerdekaan berekspresi. Bahkan, bisa
jadi puisi tidak mampu mewadai persoalan yang makin pelik dan kompleks ini.[]
Tulisan ini disarikan oleh Ahmad Darik
dari buku Mendaki Gunung Puisi
karya Tangsoe Tjahjono
0 comments: