Oleh: Abdurrohim Said
al-Kafi, salah satu kitab Hadits Sekte Syi'ah |
A.
PROLOG
Al-Hadits
adalah salah satu sumber tasyri’ penting dalam Islam. Urgensinya semakin nyata
melalui fungsi-fungsi yang dijalankannya sebagai penjelas dan penfasir
al-Qur’an, bahkan juga sebagai penetap hukum yang independen sebagaimana
al-Qur’an sendiri. Itulah sebabnya, di kalangan Ahl al-Sunnah, menjadi sangat
penting untuk menjaga dan “mengawal” pewarisan al-Sunnah ini dari generasi ke
generasi. Mereka –misalnya- menetapkan berbagai persyaratan yang ketat agar
sebuah hadits dapat diterima (dengan derajat shahih ataupun hasan). Setelah
meneliti dan membuktikan keabsahan sebuah hadits secara sanad, mereka tidak
cukup berhenti hingga di situ. Mereka pun merasa perlu untuk mengkaji matannya;
apakah ia tidak syadz atau mansukh –misalnya-. Demikianlah seterusnya, hingga mereka
dapat menyimpulkan dan mendapatkan hadits yang dapat dijadikan sebagai hujjah.
Di samping metodologi
Jumhur –sebagai salah satu kelompok Islam terbesar-, ternyata Syiah Imamiyah
–sebagai salah satu kelompok Syiah terbesar- juga memiliki perhatian khusus
terhadap al-Hadits. Namun mereka memiliki jalur sanad dan sumber khusus
dalam menerima hadits yang berbeda dengan sanad dan sumber Jumhur. Ini tentu
saja tidak mengherankan, sebab Syiah Imamiyah memiliki pengertian
tersendiri tentang Jumhur. Maka perbedaan ini tidak pelak lagi kemudian memunculkan
perbedaan antara Jumhur dengan mereka dalam persoalan keaqidahan maupun
kefiqihan.
Oleh karena
itu, tentu menjadi menarik untuk mengetahui lebih jauh tentang hadits menurut Syiah
secara umum, tanpa membahas
perpecahan golonngan ini.
B.
PEMBAHASAN
1.
Sekilas Tentang Syiah
Syiah menurut bahasa berarti “pengikut”, sedangkan menurut Istilah
Syiah berarti sekolompok orang yang mengagumi, mengikuti Ali bin Abi Thalib.
Belakangan, golongan ini memiliki beberapa istilah, yaitu al-Rafidhah,
al-Imamiyah, al-Itsna ‘Asyariyah, dan Ja’fariyah[1].
Para penulis Sejarah Islam berbeda pendapat mengenai awal mula
lahirnya Syi’ah. sebagaian menganggap syiah lahir langsung setelah wafatnya
Rasulullah saw. yakni pada saat perebutan kekuasaan antara golongan Muhajirin dan Anshar. Dibalai
pertemuan Bani Saqifah Bani Saidah. Pada saat itu terdapat suara yang menuntut
ke-khalifah-an Ali bin Abi Thalib dari bani Hasyim dan sejumlah kecil
Muhajirin.
Pendapat lain menyebutkan bahwa syiah muncul pada akhir masa
khalifah ketiga, Utsman bin Affan Ra. atau tepatnya pada awal pemerintahan
khalifah Ali bin Abi Thalib. Namun pendapat yang paling populer dikalangan para
sejarawan, bahwa syiah lahir setelah gagalnya perundingan antar pihak pasukan
Ali bin Abi Thalib Ra. dengan pihak Mu’awiyyah bin Abi Sufyan dipihak lain,
pada saat perang siffin[2].
Hanya saja, fitnah dengan tameng kecintaan berlebihan kepada
Ali bin Abi Thalib sebenarnya telah didengungkan oleh Abdullah bin Saba’[3].
Sehingga keterikatan antara golongan Syiah dengan sosok Abdullah bin Saba’ ini
tidak dapat dihilangkan.
2.
Hadits Menurut Syiah
a.
Definisi Hadits dan Pembagiannya
Definisi syiah
terhadap hadits Nabi Muhammad tidak sebagaimana pandangan Sunni. Terdapat
perbedaan yang bersifat prinsipil baik mengenai epistemologi, jalur
periwayatan, penerimaan maupun penggunaannya. Definisi sunnah versi Syi’ah adalah
“ setiap sesuatu yang muncul dari orang yang ma’shum, baik berupa perkataan,
perbuatan atau persetujuan”[4]. Sementara
orang yang Ma’shum menurut mereka adalah Rasulullah saw. dan dua belas Imam.
Kedua-Belas-Imam
yang diakui oleh Mazhab Syiah Dua-Belas-Imam adalah sebagai berikut:
1.
Ali
ibn Abi Thalib “al-Murtadha” (w. 40 H/661 M)
2.
Al-Hasan
ibn ‘Ali “al-Zaky” (w. 49 H/669 M)
3.
Al-Husain
ibn ‘Ali “Sayyid al-Syuhada’” (w. 61 H/680 M)
4.
Ali
ibn Al-Husain, Zain Al-Abidin “Zainal ‘Abidin” (w. 95 H/714 M)
5.
Abu
Ja’far Muhammad Ali “Al-Baqir” (w. 115 H/733 M)
6.
Abu
Abdillah Ja’far bin Muhammad “Al-Shadiq” (w. 148 H/765 M)
7.
Abu
Ibrahim Musa bin Ja’far “Al-Kazhim” (w. 183 H/799 M)
8.
Abu
Hasan Ali bin Musa “Al-Ridha” (w. 203 H/818 M)
9.
Abu
Ja’far Muhammad bin Ali “al-Jawad” Al-Taqi (w. 220 H/835 M)
10.
Abu
Hasan Ali bin Muhammad “al-Hadi”(w. 254H/868 M)
11.
Abu
Muhammad Al-Hasan bin Ali “Al-Askari” (w. 260 H/874 M)
12.
Abu
al-Qasim Muhammad bin Hasan “Al-Mahdi”, Al-Qa’im Al-Hujjah (memasuki kegaiban
besar pada 329 H/940 M)[5]
Sehingga dalam
versi Syiah, dua belas Imam memiliki porsi yang sejajar dengan Rasulullah saw.
Selain itu, tidak terdapat perbedaan pula antara orang yang masih kecil (bocah)
dan yang sudah matang dari kedua belas Imam tersebut. Sebab menurut pandangan
mereka ke-dua belas Imam ini telah terjaga dari salah dan lupa sepanjang
hidupnya.
Selain itu, syiah berkeyakinan bahwa
hadits-hadits yang bersumber dari para Imam adalah shahih tanpa perlu
kesinambungan riwayat (Ittishal al-Sanad) dengan Rasulullah saw.
sebagaimana persyaratan keshahihan hadits dikalangan Sunni.
Pandangan di
atas sudah menjadi cara pandang kalangan syiah secara umum, baik yang ekstrem
maupun syiah yang lunak. Yang modern lebih-lebih yang klasik.
Apa yang
disebut Sunnah atau Hadist oleh Syiah bukan hanya berupa ucapan, perilaku,
sikap, kebiasaan Nabi, tapi juga seluruh Ma’shum yang berjumlah 12. Dengan
demikian, Era wurud Sunnah tidak berhenti dengan wafatnya Nabi Besar
Muhammad–seperti kepercayaan Ahlus Sunnah–melainkan berlanjut terus hingga masa
kegaiban besar Imam Muhammad bin Hasan Al-Askari pada 941 M atau 329 H.[6]
Dalam sekte syi’ah
hadits terbagi menjadi tiga macam besar hadits, yaitu hadits Mutawatir, dan
hadits Ahad[7].
Hadist Mutawattir versi Syiah ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan
kalangan sunni, yakni hadist yang diriwayatkan oleh sebuah jama'ah yang
mencapai jumlah yang amat besar sehingga tidak mungkin mereka berbohong dan
salah. Hadist seperti ini adalah hujjah dan harus dijadikan landasan
dalam beramal. Namun, sepertinya
kalangan syiah dalam hal definisi hadits Mutawatir, memebrikan syarat, “hadits
mutawatir tidak membawa pembaca pada kesalahan, dan justru mendapatkan
kebenaran”. Sepertinya mereka tetap menekankan pentingnya “Imamah”
Ali bin Abi Thalib. Oleh karena itu, guna melancarkan akidahnya, dalam
kaitannya dengan haits Mutawatir, mereka berkata “dengan Syarat tersebut,
maka hujjah orang yang menolak Nash Hadits tentang Imamiyah Ali bin Abi Thalib
menjadi tertolak sebagai hadits Mutawatir”[8]
Sedangkan
hadist Ahad adalah hadist yang tidak mencapai derajat tawatur, rawi
yang diriwayatkannya satu atau lebih. Kemudian, hadist Ahad diklasifikasikan
menjadi empat bagian:
1)
Shahih
Yaitu hadist yang diriwayatkan oleh seorang penganut Syi'ah Imamiah
yang telah diakui ke-adalah-annya dan dengan jalan yang shahih.
Dari definisi hadits Shahih ini, dapat disimpulkan bahwa tidak ada
satupun hadits shahih kecuali jika rawinya berasal dari kalangan dua belas Imam
yang ma’shum[9].
2)
Hasan
Yaitu jika rawi yang meriwayatkannya adalah seorang Syi'ah Imamiah
yang terpuji, tidak ada seorangpun yang jelas mengecamnya atau secara jelas
mengakui ke-adalah-annya.
3)
Muwats-tsaq
Yaitu hadits dari seorang yang ma’shum dan diriwayatkan oleh rawi yang
bukan Syi'i, namun ia adalah orang yang tsiqat dan terpercaya dalam
periwayatan.
4)
Dla'if
Yaitu hadist yang tidak mempunyai kriteria-kriteria tiga kelompok
hadist di atas, seperti misalnya sang rawi tidak menyebutkan seluruh rawi yang
meriwayatkan hadist kepadanya.[10]
Dari uraian hadits diatas, secara umum dapat disimpulkan bahwa
hadits versi syiah hanya dapat diterima apabila terdapat unsur kepercayaan “Imamiyah”,
sehingga sebuah hadits tidak dapat diterima (menurut syi’ah) ketika akidah
tentang Imamiyah ini diabaikan
b.
Al-Jarhu wa al-Ta’dil
Serperti halnya
definisi hadits yang memiliki perbedaan antara syi’ah dan mayoritas umat Islam,
begitu juga tentang Al-jarhu wa al-Ta’dil versi syi’ah memiliki
perbedaan yang prinsipil. Hal ini dikarenakan al-Jarhu wa al-Ta’dil menurut
mereka harus dilandasi dengan akidah “Imamiyah”. Sehingga profil para
rawi dalam kitab-kitab mereka tidak akan selamat dari cacian, dan legitimasi
pembohong, kecuali rawi yang mengakui Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah yang
sah setelah Rasulullah saw. beberapa kitab tentang Rijal Hadits versi
Syi’ah ini, yaitu : Rijal al-Burqi, Rijal al-Kasyi, Rijal al-Syaikh
al-Thusi, Fahrasatuhu, Rijal al-Najasyi[11].
c.
Kitab Hadits Syiah
Dalam hal
penulisan hadits, syiah mengklaim bahwa penulisan hadits mereka sudah dimulai
sejak zaman Nabi seperti halnya dalam keilmuan Ahlussunnah. Akan tetapi
selanjutnya yang membuat beda adalah, bahwa menurut syiah, orang pertama yang
melakukan adalah Nabi itu sendiri. Yaitu melalui tangan Imam pertama, Ali bin
Abi Thalib ra. dalam catatan sejarah syiah, Nabi saw. memiliki sebuah shahifat,
lembar-lembar kertas yang selalu
digantungkannya di bahu pedang beliau. Kemudian Rasulullah saw.
mendektekan hadits-haditsnya pada Imam Ali ra. untuk disalin kedalam
shahifahnya. Tatkala Rasulullah saw. meninggal dunia Imam Ali ra. memelihara
shahifah tersebut dengan baik. Shahifah tersebut kemudian lebih dikenal dengan
nama Shuhufat Ali.
Terlepas dari
perdebatan seputar asal mula penulisan hadits, antara syiah dan sunni.
Dikalangan syiah terdapat empat kitab hadits yang dianggap paling shahih, yang
dikenal dengan al-Kutubu al-Arb’ah. yaitu :
1)
Al-Kafi
Merupakan kitab yang pertamakali disusun. Pengarangnya adalah Abu
Ja’far Muhammad bin Ya’qub al-Kulaini. Kitab ini tidak sekedar memuat tentang
hadits-hadits mengenai fiqih, akan tetapi juga mencakup hadits-hadits tentang
akidah ushul dan furu’[12],
sejarah para ma’shumin (orang-orang yang ma’shum) menurut syi’ah. dan empat
belas orang-orang suci, yakni Nabi saw, Sayyidah Fatimah ra. dan kedua belas
Imam.
Kitab yang memuat 16099 Hadits ini, menempati posisi paling
istimewa diantara ketiga kitab lainnya yang termasuk dalam al-Kutub al-Arba’ah.Syiah
memandang keistimewaan dalam al-Kafi antara lain karena faktor-faktor berikut:
Pertama, penyusunan
terjadi padamasa kegaiban sementara atau al-Ghaibah al-Shughra, yang
berarti bahwa ada kemungkinan penyusunnya bertemu dengan Imam Mahdi melalui
wakil-wakilnya .menurut syiah, kemungkinan itu semakin di perkuat dengan fakta
bahwa al-Kulaini tinggal di Baghdat,oleh karena itu, al-Allamah al-Muhaddits an-Nuri,
tokoh hadis Syiah terkenal,cenderung percaya bahwa kitab al-Kafi sempat
di perlihatkan kepada Imam mahdi,dan sang imam mengakuinya .Konon,Imam Mahdi
memberi komentar untuk kitab tersebut:’’Kafin
li syi’atina’(Kitab ini representatif untuk pengikut kita).
Kedua, penyusunannya
dilakukan selama 30 tahun, melalui pengembaraan yang panjang dari satu negeri
ke negeri yang lain.sesuatu yang mencemirkan kehati-hatian sang penyusun untuk
tidak mencatat kecuali hadits-hadits yang dapat dipercaya.
Ketiga, Kitab al-Kafi
disusun dengan cara yang teratur,sistematis,jeli,jauh dari hadits bi al-ma’na
(periwayatan secara makna)dan tidak ada campur tabgan pihak luar dalam hadits
–haditsnya.
Keempat, Penyusunnya
adalah seorang yang dalam pandangan Syiah diakui baik oleh kawan maupun lawan,sebagai
orang yang ahli dalam bidangnya,dan dihormati semua pihak, karena ketinngian
ilmu dan takwanya.An-Najasi (tokoh syiah terkemuka)menyatakan :’’al-kulaini
adalah orang yang palin dipercaya, autsaqu an-nas dan paling
komit,’’Al-majlisi(ulama Syiah terkemuka ,penulis Bibar al-Anwar)menulis:Syekh
al-kulaini adalah seorang syekh,ulama besar yang selalu jujur,dipercaya,
diterima oleh seluru orang, dan dipujioleh orang-orang Syiah sendiri maupun mereaka yang luar Syiah[13]
2)
Man la Yahdurhu al-faqih
Penyusun kitab besar ini adalah Syekh Abu Ja’far Muhammad Ibn Ali
Babuwaih al-Qummy[14],
yang lebih dikenal dengan julukan Syekh ash-shaduq atau maha guru yang jujur’.
Kitab ini terdiri
Dalam kepercayaan orang Syiah, ia lahir berkat doa Imam mahdi
yang mendoakannya agar menjadi seorang ulama terkemuka.konon,Syekh Shaduq
sangat tekun memburu setiap hadits yang di dengarnya, sehinnga ia harus
mengembara dari satu kota ke kota lain, hanya untuk menerima periwayatan sebuah
hadist dari seorang syekh.Ada tidak kurang dari 260 Syekh hadist yang ia terima
periwayatannya.
Menurut penuturan orang-orang Syiah, syekh Shaduq adalah tokoh
hadis yang cukup produktif.Karya-karyanya terutama dibidang hadist,cukup
dominan dalam khazanah keilmuan syiah.Bagi umat syiah,yang paling
monomentaltentunya adalah karyanya yang di atas,yaitu Man La Yahdurhu al
Faqih. Tapi krya-karyanya yang lain, seperti at-Tuhid, Kamal ad-Din
wa Tamam an Ni’mah, Ilal asy-syarayi’,al-Khisbal, Uyun Akhbarar-Ridha
dan yang lain,tidak kalah populernya.
Kitab Man la Yahdhurhu al-Faqih
adalah karya hadits ahkam atau
hadist-hadist mengenai hukum. di dalamnya tertampung 9044[15] hadist,
dengan 2050 hadist mursal, hadis yang terputus periwayatannya dan sisanya
adalah hadist-hadist musnad bersambung periwayatannya menurut persepsi Syiah[16].
3)
& 4) Tahdzib al-Ahkam dan al-Istibshar
Kedua kitab di atas di susun oleh
tokoh yang di anggap paling utama dalam madrasah(madzhab) Ahlul Bait pada
zamannya, yakni syekh Abu Ja’fa Muhammadibnu Hasan ath-Thusi atau yang lebih
dikenal dengan sebutan ath-Thusi. Syekh al-Thusi lahir tahun 385 H. dan
meninggal pada tahun 469 H.
Pada zaman terjadinya fitnah besar yang
memaksa pengikut Ahlul Bait meninggalkan kampung halaman mereka di bagdhad,
Syekh ath-Thusi mengungsi ke Najaf, sebuah kota kecil tempat dimakamkanya
Sayyidina Ali Ibn Abi Thalib. al-Thusi membangun pusat pendidikan ilmu
baru,yang kemudian dikenal dengan nama
Hauzah Ilmiyah Najaf.
Dalam pandangan Syiah, Syekh ath-Thusi adalah seorang tokoh
besar. Bersama dengan itu, ia pun melahirkan karya-karya yang luar biasa.
Selain kedua kitab di atas , karya-karya tentang tafsir al-Qur’an, yakni kitab Tafsir al-Tibyan merupakan karya cukup fenomenal
bagi orang-orang Syiah. Ath-Thusi juga masih memiliki karya-karya lain, semisal
al-Gha’ibah, sebuah buku yang menjelaskan tentang Imam Mahdi,dan Talkhish
asy-Syafi yang menjelaskan tentang imamah.
Adapun kitab Tahdzib al-Ahkam dan al-Istibshar,
sebagaimana disinggung di atas, bagi
umat Syiah, merupakan karya besar ilmu hadist dan sejajar dengan kitab
Man La Yahdhurhu al-Faqih. Kedua kitab ini juga lebih bercorak
hadist-hadist ahkam. Akan tetapi yang membedakannya dengan kitab Syiahyang
serupa,bahwa disamping periwayatan tentang hadist-hadist ahkam.dalam kaca mata
Syiah, kitab tahdzib al-ahkam dan al-Istibshar penuh dengan analisis fiqhi dan
visi-visi argumentas, serta isyarat-isyarat tentang kaidah ushul- al-Fiqh dan
rijal.Di samping itu,dalam kedua karyanya ini, ath-Thusi juga dianggap berhasil
menngabungkan hadist;-hadist yang saling bertentangan.
Jumlah dalam Tahdzib sebanyak 13590 hadits, sedangkan dalam al-Istibshar
sebanyak 5511 hadits. Hadits-hadits di
dalam dua buku ini, selain periwayatan yang dilakukan oleh syeikh al-Thusi
sendiri, sebagian yang lain merupakan salinan atas hadits-hadits yang terdapat
dalam al-Ushul al-Arba’ah dan kitab-kitab hadits kecil lain[17].
C.
KESIMPULAN
Dari paparan diatas, maka dapat kami simpulkan beberapa point
tentang syiah serta hadits menurut pandangan mereka:
1.
Benih-benih
Syiah merupakan golongan yang telah tumbuh sejak masa gejolak awal Islam,
tepatnya propaganda Abdullah bin Saba’.
2.
Hadits
dalam pandangan syi’ah memiliki perbedaan yang prinsipil dengan hadits menurut
Jumhur (Ahlussunnah wal Jama’ah). dalam syi’ah terdapat syarat akidah
Imamiyah. Terutama dalam menentukan keshahihan hadits dan tidaknya.
3.
Dalam
syi’ah terdapat empat kitab hadits yang disucikan.
D.
DAFTAR PUSTAKA
al-Harabi, Mamduh. “Mujmalu ‘Aqaidi al-Syi’ah Fi Mizani Ahli
al-Sunnah wa al-Jama’ah” cet. 1, 2009/ 1430 H (al-Jizah; Imraniyyah Lil
Aufasat)
al-Jizawi, Asyraf. “Ilmu al-Hadits Baina Ashalati Ahli al-Sunnah
wa Intihali al-Syi’ah” 2009. (Mesir: Darul Yaqin)
al-Salusi, Ali Ahmad. “Ma’a al-Itsna Asyariyah Fi al-Ushul wa
al-Furu’” 2003. Cet. VII (Mesir; Daru al-Quran)
al-Turkumani, Ahmad Muhammad. “Ta’rifun Bi Madzhabi al-Syi’ah
al-Imamiyah”. 1983. (Oman; Jam’iyah ‘Ummal al-Mathabi’ al-Ta’awuniyah)
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam “Ensiklopedi Islam”, Cet. 4.
1997. (Jakarta; PT. Ichtiar Baru Van Hoeve).
Dhahir, Ahsan Ilahi. “al-Syi’ah wa al-Sunnah” 1979
(Pakistan; Ma’arif)
Hossein Nasr, Seyyed, Oliver Leaman, Ensiklopedi Tematis Filsafat
Islam diterjemahkan dari History Of Islamic Philosophy, Cet. I, (Mizan,
Bandung, 2003)
Tim Penulis Buku Pustaka SIDOGIRI “Mungkinkah Sunnah-Syiah Dalam
Ukhuwah?” Cet. I, 2007 (Pasuruan; Pustaka Sidogiri)
Website
:
http://www.abna.ir/data.asp?lang=12&Id=295052
http://media.isnet.org/islam/gapai/Syiah03.html
[1] Mamduh al-harabi, “Mujmalu ‘Aqaidi
al-Syi’ah Fi Mizani Ahli al-Sunnah wa al-Jama’ah” cet. 1, 2009/ 1430 H
(al-Jizah; Imraniyyah Lil Aufasat) 9
[2] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam “Ensiklopedi
Islam”, Cet. 4. 1997. (Jakarta; PT. Ichtiar Baru Van Hoeve). 5. Pendapat
yang populer ini dapat dilihat dalam kitab
Dr. Ahmad Muhammad al-Turkumani “Ta’rifun Bi Madzhabi al-Syi’ah
al-Imamiyah”. 1983. (Oman; Jam’iyah ‘Ummal al-Mathabi’ al-Ta’awuniyah) 9
[3] Orang yahudi yang masuk Islam, dan
mengobarkan fitnah dikalangan kaum muslimin sejak masa Utsman bin ‘Affan. Salah
satu fitnah yang disebarkan adalah “Fanatisme berlebihan” kepada Ali bin Abi
Thalib ra, dengan mengatakan “bahwa Ali bin Abi Thalib seperti halnya Yusya’
bin Nuh dikalangan yahudi”. Dinukil dari perkataan al-Naubakhti dalam Ahsan Ilahi Dhahir, “al-Syi’ah wa
al-Sunnah” 1979 (Pakistan; Ma’arif) 28
[4] Ali Ahmad al-Salusi “Ma’a al-Itsna
Asyariyah Fi al-Ushul wa al-Furu’” 2003. Cet. VII (Mesir; Daru al-Quran)
703
[5] Hossein Nasr, Seyyed, Oliver Leaman, Ensiklopedi
Tematis Filsafat Islam diterjemahkan dari History Of Islamic Philosophy,
Cet. I, (Mizan, Bandung, 2003) 213-214. Lihat juga dalam Dr. Ahmad Muhammad
al-Turkumani “Ta’rifun Bi Madzhabi al-Syi’ah …… Op. Cit. 11-12
[7] Ali Ahmad al-Salusi “Ma’a al-Itsna Asyariyah
…… Op. Cit. 706
[9] Ibid. 706
[11] Ali Ahmad al-Salusi “Ma’a al-Itsna Asyariyah
…. Op. Cit. 705
[12] Asyraf al-Jizawi. “Ilmu al-Hadits Baina
Ashalati Ahli al-Sunnah wa Intihali al-Syi’ah” 2009. (Mesir: Darul Yaqin)
109
[13] Tim Penulis Buku Pustaka SIDOGIRI “Mungkinkah
Sunnah-Syiah Dalam Ukhuwah?” Cet. I, 2007 (Pasuruan; Pustaka Sidogiri)
71-72
[14] Asyraf al-Jizawi. “Ilmu al-Hadits Baina
Ashalati …. Op. Cit. 109
[15] Ibid. 109
[16] Tim Penulis Buku Pustaka SIDOGIRI
“Mungkinkah Sunnah-Syiah …. Op. Cit. 73-74
[17] Ibid. 74-75
0 comments: